Sudah lama aku tak paham pada wanita paruh baya yang setiap malam di bingkai jendela. Ditambah lagi dua gelas teh paginya. Kata orang-orang dia sudah gila, entah itu benar atau tidak. Aku tidak bisa berhenti memikirkan tingkah lakunya yang benar-benar tak wajar. Pasti ada alasan yang membiusnya sampai begitu. Hingga kemarin pagi, aku bisa bertegur sapa dengannya saat dia duduk di teras rumah bersama dua cangkir teh. Yang satu dia seduh sendiri, yang satu lagi dia biarkan dingin dan kaku. Dengan sengaja aku bertanya...
"Selamat pagi, ibu.", kupanggil saja dia ibu karena aku tak tahu namanya.
"Selamat pagi anak manis", balasnya ramah.
"Bolehkah anak manis ini masuk?"
"Ya, tentu saja. Dengan senang hati. Buka saja gerbangnya."
Kubuka gerbang rumah wanita itu, lalu duduk di kursi kosong sebelahnya.
"Duduk yang nyaman. Akan kubuatkan teh manis hangat untukmu.", pintanya.
"Tak usah repot-repot ibu. Kenapa tidak kuminum yang ini saja?"
"Oh jangan. Itu teh manis istimewa, milik orang istimewaku. Orang istimewa itu berpesan agar aku membuatkan teh manis hangat untuknya setiap pagi.", dia tersenyum.
"Orang istimewa yang mana ibu? Pasti sangat istimewa sampai membuat ibu mengerjakan hal rutin seperti ini. Apa dia juga yang membuat ibu berdiri di balik jendela setiap malam?", aku mulai penasaran.
"Tentu saja."
"Aku tak pernah melihatnya. Bukankah ibu sendiri di rumah ini?"
"Sendiri? Mungkin yang kau lihat aku sendiri setiap hari. Tapi itu tidak benar.", jawabnya dengan senyum getir.
"Ternyata aku salah ya bu. Di mana orang istimewa itu? Aku ingin tahu.", senyumku mengembang.
"Di sini.", dia menunjuk bagian tubuh yang mengisyaratkan hati.
"Hati?"
"Iya. Hati."
"Maksud ibu?"
"Orang istimewa itu sudah lama menetap di hati. Sebenarnya orang di dunia nyatanya pergi. Namun dalam kenangan, dia menetap. Karena itu kuanggap dia selalu bersamaku. Aku ingat sekali dulu setiap pagi dia selalu memintaku membuatkan teh untuknya. Kulakukan sampai sekarang walau raganya tak ada, walau ku tahu dia takkan meminumnya. Jangankan meminum teh, kata dari bibirnya saja tak ada. Tapi tetap kubuatkan teh untuknya. Uap teh hangat ini akan terbang, dan menyelipkan hangat cintaku ke hatinya. Ragaku tak bersamanya. Tapi hati ini, sudah dibawa pergi. Aku mencintainya, mencintai rutinitas pagiku bersamanya dulu."
"Termasuk mencintai berdiri di balik jendela?"
"Iya. Kalau yang itu, bukan dia yang memintanya. Tapi keinginanku sendiri. Dulu dia hanya bilang jika dia suka ditunggu sampai datang. Senang jika disambut dengan senyuman. Saat raganya sudah pergi, aku tetap melakukan hal itu. Menunggu dari balik jendela berharap dia datang. Walau sebenarnya takkan ada yang datang. Berharap senyum ini akan membuatnya bahagia. Walau semua percuma karena aku bukan lagi bahagianya."
"Secinta itukah ibu pada lelaki itu?"
"Tidak. Aku tak mencintainya, namun mencintai kenangan bersamanya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Sendu
PoetryAku tak tahu ini kekacauan macam apa. Dalam bahagiaku ada sendu. Dalam sedihku jangan tanya.