10. Merindukan Sahabat

2.9K 279 0
                                    



10.

Ami berdecak saat mendapati Edsel berada di depan pintu rumahnya. "Apa yang membawamu kemari?" tanyanya blak-blakkan.

"Merindukan sahabat, hemm."

Bola mata Ami berputar jengah. Namun tak lama ia melebarkan pintu untuk mempersilahkan Edsel masuk. Biar bagaimanapun Edsel tetaplah seorang tamu yang harus dihormati.

"Ini berurusan dengan anak-anak?"

Edsel mengedik. "Sudah kubilang merindukan sahabat,"

Ami mendesis. "Sudah bisa ditebak sebenarnya,"

Edsel tergelak sesaat sebelum kemudian mendudukkan dirinya di sofa ruang tamu Ami. Tak lama Ami melengang meninggalkannya sendiri sebelum kemudian kembali dengan secangkir kopi serta penganan.

"Hmm, tuan rumah yang baik." seloroh Edsel yang hanya disambut dengusan oleh Ami.

"Kayaknya aku udah pernah bilang deh, Sel! Nggak mau terseret masa lalu kamu. Bagianku selesai sampai melakukan yang Mamimu minta."

Edsel tersenyum tipis sembari menyesap kopinya. Ditatapnya Ami intens sebelum kemudian meletakkan cangkir di atas meja.

"Dari dulu sampai sekarang, kamu masih nggak berubah ya Mi?"

"Maksudmu?"

"Terlalu serius." Kekeh Edsel. "Aku serius ke sini sedang merindukan sahabatku,"

Dahi Ami berlipat. Matanya memincing curiga.

"Jangan tatap aku seperti itu, Armila Yanuar." Ujar Edsel. "Aku bukan penjahat."

"Bukan penjahat dalam artian yang sebenarnya tepatnya," cibir Ami.

"Maksudmu?"

"Player kelas wahid."

"SH*T!" Edsel mengumpat sekaligus tertawa keras. "Ternyata waktu benar-benar tak mengubahmu, Mi."

"Masih saja bermulut pedas." Sambungnya kemudian.

Kedua bahu Ami terangkat. "Tapi kamu betah berteman denganku bukan?"

Edsel tergelak. Kepalanya manggut-manggut. "Karena kamu selalu jujur. Tak pernah membohongiku,"

Bibir Ami tercebik. "Iya. Tapi kamu justru sering melakukannya."

Lagi-lagi Edsel tertawa. Kepalanya menggeleng geli beberapa kali. "Sudah terlalu lama kita tidak seperti ini, Mi."

"Karena kita punya kehidupan masing-masing, Sel." Sahut Ami. "Kita tak selamanya terjebak pada tubuh remaja kan?"

"Yayaya. Kamu benar. Ngomong-ngomong aku masih tak terima, kamu tak memberitahu soal Faiz,"

Ami menghela napas panjang lalu menghembuskannya perlahan. "Sudah kubilang, semua terjadi begitu cepat."

"Aku sendiri butuh berbulan-bulan untuk menyakinkan diri jika Faiz benar-benar telah pergi."

Edsel terdiam. Sungguh, ia tak pernah menyangka jika Ami sudah menjanda selama bertahun-tahun. Selama ini ia berpikir Ami, sahabatnya hidup dengan keluarganya. Kebahagiaan yang jelas tak ingin Edsel ganggu. Sudah terlampau lama mereka tak berkomunikasi. Toh, siapa pula dirinya saat itu. Edsel menghargai keberadaan Faiz sebagai suami Ami.

"Kamu benar-benar mencintainya?"

"Tentu saja." jawab Ami cepat. "Dia laki-laki yang baik dan begitu perhatian. Dia juga ayah sempurna bagi Nami,"

THEY!Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang