Chapter 21

1.2K 160 29
                                    

Cawsie Delmanof.

kami sudah berjalan cukup jauh dari tempat kami beristirahat tadi. Aku menggegam tangan Ayse sedangkan Kazim berada di gedongan Harry. Tak ada satupun tempat tinggal yang layak untuk kami tempati di sekitar sini. Dan sekarang tujuan kami hanyalah satu, mendaki bukit pasir itu dan terus berjalan kearah timur. Ya tuhan, semoga saja kau selalu melindungi kami.

"Kau baik-baik saja?" Aku menoleh ke arah Harry yang sejak tiga jam lalu terus menggedong Kazim. Aku khawatir jika ia kelelahan namun ia tetap memaksakan.

"Ya. Aku baik-baik saja." Ia tersenyum lalu kembali berjalan di depanku.

Ayse mengusap bahuku lembut dan aku langsung menoleh kearahnya, tersenyum. Mungkin untuk 2/3 hari kedepan aku dan Harry masih sanggup untuk melalui perjalanan ini. Namun, bagaimana dengan Ayse dan Kazim. Aku tak mau mereka mati kelaparan atau lebih buruknya, di temukan para bajingan itu. Sial. tidak akan ku biarkan.

Kami hampir sampai di puncak bukit padang pasir yang menutupi bagian timur. Ayse nampak kesusahan mengingat ia memakai pakaian panjang dan juga bawahan kain panjang. Kini Harry dan Kazim sudah beberapa langkah di depanku. Namun tiba-tiba langkah Harry berhenti di atas puncak pertengahan, Aku mengernyit. Mengapa ia berhenti?

"Harry, kenapa kau---Oh god! syukurlah..." Aku langsung memeluk Ayse singkat dan tersenyum kearahnya.

"Oh syukurlah.. tuhan masih melindungi kita Cawsie." Ujar Ayse dan aku mengangguk semangat.

"Lebih baik kita bergegas. Matahari sudah hampir terbenam." Ujar Harry dan kami mengangguk setuju.

Kami melihat sebuah permukiman penduduk yang masih cukup layak untuk kami tempati. Terdapat ternak unta dan beberapa ternak hewan lainya. Rata-rata rumah pemukiman itu berbentuk kotak dengan dinding yang terbuat dari batu dan pasir. Ukuranya pun tak terlalu besar, namun terlihat masih cukup banyak warga sipil yang bertahan hidup di permukiman tersebut.

Beberapa pasang mata melihat kami dengan pandangan aneh. Kaum wanita saling berbisik seraya memerhatikan kami. Meskipun permukiman ini cukup besar, namun sampai saat ini kami belum dapat menemukan seorang yang dermawan yang bersedia menampung kami di rumahnya.

"Harry, ini sudah hampir malam." Aku menarik ujung seragamnya dan ia pun menoleh.

"Akan tidak akan menyerah." Ia menyerahkan Kazim padaku. Sedari tadi pria kecil ini hanya terdiam dan tak banyak bicara. Aku sedikit khawatir dengan keadaan psikologis Kazim. Ia masih terlalu kecil untuk melalui semua ini.

Harry mengetuk salah pintu rumah dengan perlahan. Tak lama pintu terbuka dan menampakan seorang perempuan yang seumuran dengan Kazim.

"Hai. Apa aku boleh bertemu dengan ayah atau ibumu?" Tanya Harry dan dia hanya terdiam memerhatikan Harry.

"Mayessa masuk kedalam. Maaf sir, aku tidak terima tamu--"

"kumohon nyonya---"

"Selamat malam." Ia membanting pintunya cukup keras. Aku meringis dalam hati. Tidak adakah seseorang yang masih berbaik hati ingin menerima kami. Setidaknya terimalah Ayse dengan Kazim. Aku dan Harry, masih bisa bertahan hidup tanpa tempat tinggal.

Harry mencoba kembali mengetuk pintu yang kedua. Dan semuanya masih nihil, tak ada yang berbaik hati ingin menampung kami.

Hingga akhirnya aku mencoba mendekati salah satu rumah yang tak terlalu besar. Rumah ini sedikit lebih tertutup dari yang lain. Aku meneguk ludahku berat, C'mon Cawsie. Kau pasti bisa.

Trapped In War [h.s]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang