2. Dont' Fall in Love With Me

126 6 0
                                    


Pria itu berdiri dengan tegap, menatap lurus ke luar jendela, mengenakan jubah hitam selututnya dipadu dengan celana jins hitam berwarna senada. Aura pria itu bak malaikat kematian yang setiap harinya berurusan dengan jeritan mohon ampun manusia tatkala nyawa mereka hendak di cabut. Dingin dan tanpa belas kasih.

Matanya berkilat marah saat anak buahnya melaporkan bahwa mereka tidak berhasil melaksanakan tugas. Kepalan tangannya menguat, menunjukan dengan jelas tulang-tulang jarinya. Gertakan giginya terdengar di ruangan senyap berisikan anak buahnya yang bergeming, takut-takut majikan mereka akan menerkam di detik mereka mengeluarkan suara.

"Kalian ber enam," ujar pria itu dengan penuh penekanan di setiap kalimatnya. "Mengurus satu gadis saja tidak bisa." Pria itu menatap satu per satu anak buanya dengan raut wajahnya yang datar. Terlalu datar untuk ukuran orang yang sedang marah. Ia memainkan jari-jarinya dan menyentikan jari telunjuknya pada dagu salah satu anak buahnya. "Kau harus menganggap dirimu beruntung karena aku yang menyuruh kalian semua. Apa yang akan terjadi kalau Rhodes yang memberi perintah? Kalian semua mungkin sudah menjadi abu...," ucapnya dengan nada penuh kasihan yang sangat kentara dibuat-buat.

"Di detik kalian tidak membawa gadis itu." Nada suaranya berubah garang bersamaan dengan cakarnya yang mengibas enam anak buanya dan melukai pipi mereka.

"Gadis itu...." Salah satu anak buahnya mengeluarkan suara dengan gugup. "Gadis itu dilindungi oleh seorang Veeder, Tuan." Matanya kembali berkilat marah, menunjukan ketidaksukaan adanya campur tangan bangsa Veeder dalam urusannya. Ini bukan hal yang baik. Bangsa Veeder sudah terlalu dalam ikut campur dan menganggap kalau perdamaian yang dibuat antara bangsa Vampire san bangsa Veeder membuat mereka berpikir kalau mereka bisa mencampuri urusan satu sama lain. Tidak. Untuk urusan yang satu ini, Veeder tidak boleh ikut campur. Mendekat saja tidak boleh.

"Veeder...," gumam pria itu penuh amarah. "Kita lihat nanti."

***

Dayton menatap gadis yang sedang tertidur pulas di kasurnya lekat-lekat. Ia masih tidak bisa menemukan alasan yang logis mengapa malam itu sekelompok vampire mencoba mendekati gadis ini. Tidak ada yang spesial pada gadis tersebut, aroma yang dimiliki pun sama saja seperti yang lain, Kenneth sudah membuktikan hal itu.

Satu hal yang diyakini Dayton adalah, vampire-vampire malam itu adalah pesuruh. Ada orang lain dibalik semua ini. Satu manusia untuk enam vampire? Satu saja terkadang mereka masih merasa kurang. Hal itu sudah membuktikan kalau gadis ini tidak sedang dijadikan santapan, tapi gadis ini akan dijadikan tawanan kepada orang yang berkuasa dibanding vampire-vampire itu. Tapi siapa?

Sebenarnya apa yang sedang terjadi?

Dayton melangkah keluar dari kamar itu sebelum gadis yang sedang tertidur dengan pulasnya terbangun, menyadari kalau sedang diperhatikan.

"Vincent," panggil Dayton pada pelayannya yang kebetulan melintas. Pria bernama Vincent itu membungkuk hormat pada Dayton, tuannya. "Tolong panggilkan Kenneth ke sini."

"Baik, Tuan." Vincent mengangguk patuh.

"Aku sudah di sini." Dayton menoleh dan mendapati kalau orang yang ia minta Vincent untuk panggilkan muncul di hadapannya bersamaan dengan angin yang berhembus pelan.

"Ah, kau datang. Kau bisa beristirahat, Vincent." Vincent lagi-lagi mengangguk patuh pergi meninggalkan Dayton dan Kenneth berdua.

"Bagaimana?"

"Namanya Keira Vangelini, usia dua puluh satu, mahasiswa seni tahun ketiga." Kenneth menjelaskan identitas gadis yang tempo hari Dayton bawa ke kastel. Gadis yang pria itu ingin lindungi. Gadis yang menjadi tawanan sementara di tempat yang biasanya pria itu tidak pernah membawa siapa-siapa.

Another VampireTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang