Memories

3.5K 89 4
                                    

Yang kaget, ko updateannya seperti ini? Kok kaya kenal? ko ngulang lagi?
Aku memutuskan untuk meremake, saran dari beberapa orang aku perlu memerhatikan gaya penulisanku, dan beberapa alur cerita, dalam seminggu ini akan ku perbaiki, jadi baca dari awal lagi ya, siapa tahu pada lupa ceritanya karena saya lama banget updatenya.

***

Oktober 2021

Hidungku mencium bau asing - seperti pestisida, telingaku mendengar sayup-sayup suara rekan-rekanku berbicara pelan, setengah berbisik. Ku rasakan kepalaku sakit, aku mengeluh lemah.

Ku buka mataku perlahan, ku lihat wajah seseorang samar, ia berbicara tetapi tidak jelas kutangkap apa yang ia katakan.
Wajah itu semakin jelas, wajah yang tampak rupawan, bentuk wajah yang semakin tegas dari terakhir aku melihat pria ini.
"Kau sudah sadar?" Suaranya, suara yang dulu selalu ingin ku dengar, suara yang sebelas tahun lalu aku selalu curi lewat telepon genggamku.
"Apa kau merasa sakit?" Aku tak sanggup, suara itu jelas-jelas suara yang dahulu selalu mengintimidasiku, suara yang selalu menggemakan kata-kata tajam.

Aku menggeleng lemah. Aku mencoba duduk, ia membantuku duduk. Aku menatapnya dengan tatapan sendu. Tetap saja, tatapan itu tidak pernah berubah, sejak dua belas tahun yang lalu aku melihatnya, tatapan itu sama sekali tidak pernah berubah. Dingin. Menusuk ulu hatiku.

"Lily, kau tidak apa-apa" Ricard menghampiriku, ia khawatir, aku hanya mengangguk lemah sambil memegang kepalaku. Oh tidak! kepalaku di perban.

"Maafkan aku tidak menahanmu tadi" Ricard merasa bersalah "kau mengingatku kan?" Aku menatapnya malas, maksudnya aku amnesia? Ricard tersenyum melihat ekspresiku, ia merangkul pundakku.

Aku kembali menatap lelaki itu, ia berhasil menggapai impiannya, ia berhasil menjadi apa yang ia inginkan. Jas putih itu sangat pas di badannya, kaca mata yang bertengger di hidungnya menambah kharismanya. Setelah lima tahun berpisah, mengapa kau harus kembali menampakkan wajahmu di hadapanku?

"Aku sudah menelfon Sarah, ia akan segera datang" Stella rekan satu kerjaku, hari ini aku pergi ke pub bersamanya. Menghabiskan lima botol champagne bersama. Bukan, bukan bersama sebenarnya akulah yang menghabiskan semuanya.

"Harusnya aku tidak membiarkanmu mabuk, sayang" Aku menepis tangan Ricard yang mencoba membelai pipiku. Aku melihat lelaki itu mematung di ujung ranjangku dengan tatapan dinginnya.

"Frans dan Diana sedang mengurus administrasimu, mereka akan segera datang, maafkan aku harusnya aku mengontrolmu untuk tidak mabuk" Stella merasa bersalah.

Aku hanya mengibaskan tanganku, tanda aku tidak apa-apa, walaupun sebenarnya kepalaku terasa berputar, pusing bukan main.

"Malam ini pasien harus menginap, setidaknya sampai infus ini habis. Kadar alkohol dalam darahnya sangat tinggi" nada lelaki yang mereka sebut sebagai dokter kali ini tidak dingin, terkesan berwibawa.

"Aku akan menemanimu, sayang" Ricard menggenggam tanganku.

Lelaki itu menatap tanganku yang digenggam Ricard lalu beralih menatap wajahku "Kalau ada sesuatu yang dibutuhkan kau bisa tekan bel itu" lelaki itu menunjuk bel yang berada di samping kiriku. Aku hanya mengangguk mengalihkan pandanganku ke sudut ruangan lain. "Karena pasien sudah siuman, saya pamit" lelaki itu tersenyum singkat pada Stella lalu pergi, menghilang di balik pintu.

"Kau pulanglah, ini sudah hampir fajar, aku tidak mau bersamamu, Sarah akan datang bukan?" Aku melepaskan genggaman Ricard, aku merasa risih ketika Ricard menyentuhku di hadapan lelaki itu.

Frans dan Diana muncul di bingkai pintu, masuk tergesa-gesa menghampiri ranjangku, memeriksa apa aku baik-baik saja, aku hanya tersenyum menunjukkan aku baik-baik saja, mereka tidak perlu khawatir karena kebodohanku.

Unstoppable Feeling Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang