September 2012
Aku menatap pemandangan indah dari candi. Tidak ada hari paling membahagiakan selain hari ini. Aku memegang ukiran-ukiran dinding candi, siapa yang tahu candi yang menjadi salah satu keajaiban dunia ini pernah ditinggalkan, pernah di telantarkan. Candi yang menjadi tempat yang harus didatangi wisatawan ketika mereka datang ke Jogja pernah menjadi tempat terlarang, abad sepuluh raja melarang manusia untuk datang ke candi ini, umat budha tidak lagi memberikan persembahan pada tuhannya kala itu. Pernah ditutupi abu vulkanik, sudut-sudut tertutupi tumbuhan liar, tidak seindah sekarang. Sampai akhirnya abad sembilan belas, candi ini kembali ditemukan, diperbaiki dan menjadi tempat wisata yang bersejarah.
Apa aku harus seperti candi ini? dilupakan? ditelantarkan? baru Revan menyadari betapa berharganya aku. Mungkin ini terlalu berlebihan.
"Van boleh minta tolong?" Revan menoleh ke arahku "Aku mau foto di sana, minta tolong ya" aku memberikan ponselku pada Revan dan berlari ke sudut candi, disana ukiran dinding dan langitnya indah. Cocok untuk dijadikan latar belakang foto.
Aku tersenyum dan menunjukkan jari ku berbentuk V. Beberapa kali berganti gaya hingga ku rasa cukup. Aku kembali berlari ke arah Revan, melihat hasil fotonya. Dia pandai dalam mengambil gambar. Aku suka dengan hasilnya.
"Terimakasih Van" aku berterimakasih padanya. Ia bahkan tidak menatapku, ia kembali berjalan memimpin langkahku.
Aku berjalan mengekorinya, menatap punggung bidangnya. Aku bergelut dengan pikiranku sendiri.
Sebenarnya Revan bukan tipe yang terlalu tertutup mengingat ia bisa dekat dengan Chris dan Natasha. Dibanding dengan teman-teman kuliah yang baru ia kenal, hubunganku benar-benar lambat. Kalau saja aku tidak mengajaknya makan siang, mungkin saja aku tidak pernah bertemu dengannya. Kalau saja aku tidak bertetangga dengannya, mungkin aku tidak akan mengetahui latar belakangnya. Harusnya aku menyadari, kalau Revan memang tidak tertarik denganku, tapi kalau aku menyerah ini lebih menyakitkan.
Revan berjalan cepat, aku semakin jauh di belakangnya. Bukankah Revan mendengar kata-kata Nenek malam itu? Tapi mengapa sikapnya kini masih sama? Apa jangan-jangan ia tidak mendengarnya?
Aku menggelengkan kepalaku, aku tidak boleh berfikir tentang ini, pasti lambat laut mood-ku akan berubah buruk karena kemungkinan-kemungkinan respon Revan yang aku simpulkan dengan otak pas-pasanku ini."Ly jalannya kaya siput, lama" Sarah berdiri, Chris dan Revan duduk diundakan candi.
"Maaf, terlalu menikmati pemandangan" aku mencoba mengubah raut wajahku. Sepertinya Sarah menyadarinya, ia langsung mengapit tanganku.
"Lanjut jalan?" Ia bertanya, aku mengangguk. Aku berjalan berdampingan dengan Sarah menuruni tangga candi.
Tidak terasa kami sampai di dasar candi, Sarah dan Chris ingin berfoto berdua dengan latar belakang candi. Mereka berpose mesra, aku berdesis malas. Benar-benar memang pasangan ini.
"Foto berempat yuk" Chris menoleh ke kanan ke kiri, mencari seseorang yang dapat dimintai bantuan. Ia meminta tolong pada gadis yang sedang berjalan bergerombol dengan teman-temannya.
Sarah menarik lalu mendorongku tepat ke sebelah Revan. Kami berfoto, dengan urutan Chris, Revan, Aku dan Sarah.
"Rangkulan dong biar terlihat akrab" seru Chris disela-sela foto kami. Revan merangkulku. Aku tercekat. Tegang. Aku tak bisa bernafas.
Aku masih diam ketika Chris dan Sarah melihat hasil fotonya. Duh sensasi itu masih terasa.
"Fotonya bagus, apalagi yang rangkulan" Chris nyengir, sedangkan aku menatapnya malas. Apa dia tidak tahu? Perasaanku jadi campur aduk. Tak dianggap. Dirangkul. Aku tak mengerti. Aku benar-benar tak mengerti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Unstoppable Feeling
RomanceAku tidak habis pikir bagaimana bisa aku kembali bertemu dengannya. Seseorang yang selalu angkuh dan arogan. Di rumah sakit ini, saat aku dengan bodohnya mabuk bersama teman-temanku, pingsan setelah kehilangan keseimbangan dan terjerembap di anak-an...