Prolog

184 8 3
                                    

Dari semua tempat yang ada di muka bumi ini, aku memilih Jakarta. Ya, aku yang memilih. Pilihanku jatuh pada Jakarta. Kota dengan segala cerita yang ada di dalamnya
Dengan kemacetannya, dengan keriuhannya, dengan segala kesibukannya dan kesunyiannya saat malam.
Tak ada yang menyuruhku untuk datang ke kota ini. Tak ada juga orang yang ku kejar sampai sejauh ini ku tinggalkan kampung halaman. Dan mama, mama yang selalu menunggu dan berharap putrinya pulang. Pulang bukan hanya untuk menghabiskan libur 3-4 hari, tapi pulang untuk kembali menetap di rumah. Rumah yang dibangun papa dengan keringatnya sendiri.
Ya, masih saja aku ingat rumah. Ingat mama. Ingat papa. Akan selalu begitu. Bukankah pulang adalah alasan kenapa aku pergi? Karena aku ingin pulang. Itu, benar-benar pulang.
2008, beberapa tahun yang lalu adalah kali pertama aku melangkah meninggalkan rumah untuk tinggal di kota lain. Waktu itu alasanku sangat sederhana. Sesederhana mimpi setiap remaja di kampungku untuk dapat melanjutkan sekolahnya hingga sarjana di ibu kota propinsi. Ya, hanya sesederhana itu.
2014, diusiaku yg hampir menginjak seperempat abad. Dengan gelar sarjana ekonomi. Usia yang cukup untuk disebut dewasa. Saat itu aku tahu mama menungguku pulang. Pulang untuk berkumpul kembali di rumah kami.
Tapi saat itu bagiku pulang belum menjadi tujuanku.
Aku melangkah lebih jauh.
Pergi meninggalkan mama dan papa mungkin lebih lama.
"Dek, pesawatku lusa pukul 11.00"
BBM dari Elang membuyarkan lamunanku.
Seketika senyumku mengembang. Elang akan datang. Orang terdekatku selain keluarga sejak 2011 lalu. Orang yang selalu melangkah beriringan denganku di ibu kota propinsi dulu. Dia akan datang ke kota ini. Ke Jakarta. Entah apa tujuannya datang kesini. Apa karena aku, apa karena impian-impiannya, atau karena dia juga ingin merasakan pulang?. Entahlah. Yang pasti di kota ini kami akan berpijak, melangkah, berlari, melompat, membentangkan cita-cita hingga mengangkasa. Life is a choice, hidup adalah pilihan. Lima hari yang lalu, ketika aku memutuskan untuk pergi. Jelas itu adalah pilihan. Demi apapun, aku dapat melihat air mata mengambang di pelupuk mata papa, tapi ia tetap berkata. 'Melangkahlah nak, teruslah maju, tp jangan pernah lupa kau adalah putri minang, yang tahu batasan dalam agama dan adat kita.'
Saat itu belum pernah aku merasa begitu lemah dan begitu kuat dalam waktu bersamaan. Papa tak pernah menyuruhku pergi, beliau menyuruhku melangkah. Bagiku itu sungguh besar maknanya. Seakan setiap derap langkahku adalah sebuah tanggung jawab untuk langkah berikutnya. Tapi papa menunjukkan padaku pegangan yang sangat kokoh. Apa yang lebih kokoh melebihi agama untuk akhiratmu? Adat untuk duniamu?
Aku adalah putri minang. Adat basandi sarak, sarak basandi kitabullah (1). Adalah pusaka minang yang kubawa kemana-mana.

Note: (1) Adat yang di dasarkan pada syariat agama islam, dan syariat agama islam tersebut di dasarkan pada Al-Quran.


Sekotak Kecil RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang