1. Dari Metropolitan hingga Tanah Minang

113 5 0
                                    


"Macet"
Kata pembuka yang mungkin akan muncul dari mulut mu ketika di tanya tentang Jakarta. Sibuk mungkin kata ke dua, banjir berikutnya, lalu mewah, mahal, ramai, rentetan nama-nama artis ibu kota, gedung-gedung tinggi hingga rumah-rumah kardus di pinggiran rel kereta.

Bagiku, semua seperti rentetan not-not yang membentuk rangkaian nada, dan aku adalah pianis yang kemudian akan memainkannya menjadi sebuah mahakarya. Nasib, adalah mahakarya paling orisinal dari tangan setiap manusia. Seperti janji tuhan, 'tidak akan berubah nasib suatu kaum, sebelum ia mengubahnya sendiri.'

Seperti aku, karena aku melangkah, karena aku datang ke kota ini, memasukkan berkas lamaran kerja, mengikuti rangkaian tes, maka nasib membawaku keruangan ini. Ke meja kerja ini. Mengganti statusku dari pengangguran menjadi pegawai bank. Ya, aku bekerja di sebuah bank milik pemerintah.

" Key, makan siang dimana nih?"
"Bebas, ikut anak-anak aja"
Jam menunjukkan pukul 12.10 ketika alarm lapar dari perut Diandra teman kantorku mengingatkan sudah waktunya makan siang.
Seperti biasa kami selalu turun dari lantai 3 gedung beramai-ramai untuk menjajal warung makan di sekitar kantor.

Sudah menjadi kebiasaan bahwa setinggi apapun berkas yang menunggu di selesaikan di atas meja kerja masing-masing, jam 12.00 sampai jam 13.00 siang adalah waktu yang tidak boleh di ganggu karena kami harus melihat matahari sembari mengisi amunisi untuk kerja sampai matahari sempurna tenggelam.

"Gue bosen loh Key makan deket sini terus, perut gue kayaknya mulai berontak deh di jajalin micinnya bu murah terus." ucap Diandra setelah berdiri tepat disamping mejaku.
"Hahahaa.., harus micinnya bu murah banget ya Di?"
"Hehee"
"Yuk, kita makan yang jauh." Ajakku sambil berdiri dan melangkah keluar ruangan.
"Yuk. Ajakin anak-anak juga" Jawab Diandra mengikut keluar dengan riang.

"Hei, ada yang mau ikut makan ke GI ga?" Tanyaku pada teman-teman yang lagi berkumpul di pantry.
"Busyeet, jauh amat makan ke GI." Jawab Roy.
"Kelaaaass." Timpal Boy
"Sekali-kaliii." Diandra yang jawab.
"Jadi gak ada yang mau ikut nih?" Tanyaku lagi memastikan. Tak mau buang-buang waktu lagi. Maklum, cacing di perut mulai demo.
"Gak deh." Jawab Sam, dan diamini yang lain.

It's ok, jawabku sambil berlalu turun bersama Diandra. Akhirnya kami lunch di salah satu restoran jepang di mall yang lumayan jauh dari kantorku itu

"Key, lo libur idul adha nanti pulang kampung ga?" Diandra tiba-tiba bertanya saat kami tengah menikmati makan siang.
"Ga kayaknya deh Di, nanggung liburnya cuma dua hari"
"Lebaran di mana dong?"
"Kosan"
Ada sesuatu yang menyesak di hatiku saat menyebut kosan. Rasanya sepi tiba-tiba merayap masuk. Fikiranku melayang terbang melewati jalan-jalan yang panjang membentang. Entah berapa banyak persimpangannya, entah seberapa abstrak liku-liku jalannya. Tiba-tiba sampai di ruangan yang temaram. Cahaya lampu kekuningan di atas meja kayu. Lihat, mama terpekur dalam sujud panjangnya. Di tepian doa itu ada namaku.

"Key, yaah malah ngelamun, keselek duri salmon loh."
Diandra membuyarkan lamunanku.
"Ngawur, mana ada salmon di sushi ada durinya?"
"Abis lo sambil makan ngelamun. Ngelamunin apaan sih?"
"Lagi bikin cerpen gue" kilahku
"Gelo"

Beranjak ribuan kilo meter di baratnya Sumatera, perempuan 50an tahun tengah mengaduk-ngaduk santan yang di campur bermacam-macam rempah. Duduk di atas bangku di depan tungku.
"Tidak akan terkejar kalau rendangnya di kirim hari ini ma?" seorang pria berusia tidak jauh beda tiba-tiba muncul di dapur.
"Eh pa, besok pagi sajalah ya pa di kirim rendangnya, kita pakai pengiriman kilat saja."
"Iya ma, papa siapkan oleh-oleh lain dulu." kata pria itu sambil berlalu dari dapur.

Mereka adalah sepasang suami istri. Malaikat-malaikat tanpa sayap di hidupku.









Sekotak Kecil RinduTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang