===DON'T FORGET TO VOMMENT===
Tidak mudah memang memulai suatu pertemanan dengan orang-orang baru. Seperti memulai merajut kain, banyak tahap yang harus dilalui. Tidak semudah membalikkan telapak tangan, tapi toh membalikkan telapak tangan juga perlu usaha.
Tapi tidak bagi seorang Arin, gadis yang selalu sibuk dengan dunianya sediri. Arin merasa tidak perlu bergaul dengan banyak orang, sudah cukup baginya memiliki tiga sahabat yang selalu ada untuknya. Tidak perlu juga bersusah payah memakai dua muka hanya untuk berteman dengan murid populer di sekolah.
"Rin kantin yuk," kata Andini sambil menoel bagian belakang tubuh Arin.
"Bentar-bentar, dikit lagi nih."
"Ntar aja lanjutin lagi Rin, gue udah laper nih." Nadya yang memang tidak sarapan tadi pagi merengek meminta pengertian Arin.
Gadis itu masih sibuk dengan buku catatan dan matanya menatap bergantian papan tulis dan bukunya. Tangannya bergerak cepat mencatat semua materi yang ada di depannya.
"Eh jangan diapus!" cegat Arin melihat seseorang yang sudah memegang penghapus papan tulis.
Namun yang dipanggilnya tidak menyahut, dan masih meneruskan kegiatannya.
"Nad itu siapa sih namanya?"
"Febi, Rin... Ya Allah udah dua minggu sekelas sama dia, lo masih nanya namanya siapa?"
Sudah dibilang tadi, Arin adalah tipe orang yang tidak suka dan tidak pandai bergaul dengan banyak orang. Ia bukan tipe pemulai, tapi seseorang penunggu.
"Feb, yang itu jangan diapus."
"Oh sori-sori," Febi secara otomatis menghentikan gerakkan tangannya. "Tapi yang sana udah kan?"
"Iya udah, apus aja."
Febi kembali melanjutkan acara piketnya setelah mendapat persetujuan dari Arin. Dan Arin kembali sibuk mencatat materi yang belum ia selesaikan.
"Rin buruan, tinggal 20 menit lagi nih." Nadya menunjukkan layar ponselnya di depan wajah Arin. Tapi tidak berhasil. Kini giliran Luna memulai aksinya.
"Ntar Langit keburu masuk kelas."
Langit mana yang bisa masuk ke dalam kelas, seberapa besar kelas itu sampai langit pun dapat masuk di dalamnya. Langit itu sebesar dunia atau bahkan lebih luas lagi? Entah lah hanya Tuhan dan semesta yang tau jawabannya. Jadi bagaimana langit sebesar itu dapat masuk ke dalam kelas yang hanya berukuran empat kali lima meter.
Tapi ucapan Luna berhasil memecah konsentrasi Arin. Semua yang menyangkut Langit, pasti akan mempengaruhi Arin secara tidak langsung.
Arin dengan cepat menutup buku catatannya dan langsung dimasukkan ke dalam laci meja. Dengan terburu-buru Arin mengambil dompet dan ponselnya di dalam tas.
"Yuk buruan, lama ih."
Arin sudah berjalan terlebih dulu ke arah pintu kelas meninggalkan ketiga sahabatnya yang masih berdecak kesal dengan tingkah Arin. Dan Andini yang sedari tadi menggerutu kembali mengoceh tidak jelas, apa lagi sebabnya kalau bukan karena Arin.
"Untung anak orang, kalo anak orok udah gue gorok lo Rin!"
"Emang anak orok bukan anak orang ya?" tanya Nadya polos. "Orok itu bayi bukan sih? Oh orok itu kalo orang tidur biasanya kan orok ya."
"Bodo Nad, bodo." jawab Andini kesal.
"Tapi bener lho Din, anak orok-kan anak orang juga." Luna mulai ikut masuk dalam percakapan tidak jelas antara Andini dan Nadya.
Percakapan mereka tidak juga berhenti sampai di kantin sekolah. Mulai dari membahas orok sampai membahas Arya, si playboy cap kemiri. Muka yang pas-pasan tapi lagaknya gonta ganti gandengan tiap minggu. Kasus terakhir, Arya yang membuat seorang Monik yang notabennya ratu sekolah, menangis gara-gara ulahnya berselingkuh dengan Sharon.
Dan jangan lupakan Arin yang matanya masih menelisik penjuru kantin mencari sesorang.
"Duduk dimana nih, penuh..." tanya Andini yang merasa tidak ada tempat tersisa disana.
"Situ tu kosong," tunjuk Luna pada sebuah bangku dekat dengan gado-gado Mbak Sri. "Rin ayo."
Andini, Nadya, dan Luna sudah berjalan ke meja kosong meninggalkan Arin yang masih mencari sesorang. Saat mata Arin masih menelisik penjuru kantin, matanya menangkap seseorang yang melambaikan tangan ke arahnya.
"Lang!" panggil seseorang yang sedang duduk di bangku bagian ujung kantin, orang itu yang baru saja dibahas oleh mereka saat perjalanan ke kantin.
Kenapa Arya memanggilnya dengan sebutan 'Lang'.
"Misi, jangan berenti di jalan dong," suara berat milik seseorang dari arah belakang menyadarkan Arin.
"Eh, iya maaf kak."
Arin memberi ruang untuk orang itu berjalan. Orang itu, yang sedari tadi dicari Arin. Mata Arin melebar saat bahunya bersentuhan dengan orang yang baru lewat di sebelahnya.
'Ini baju gak akan gue cuci.' batin Arin
Orang itu Langit, Langit Samudera Pratama. Cowok yang kabarnya most wanted, yang dicari-cari Arin dari sebulan lalu untuk memuaskan nafsu hatinya. Bagaimana pun Arin hanyalah gadis lima belas tahun yang ingin tahu bagaimana rasanya jadi seorang fans dari cowok populer.
Ia juga ingin tahu bagaimana rasanya menyukai seseorang yang sangat diinginkan semua cewek seantero sekolah. Walaupun Arin tahu kalau ia tidak akan pernah mendapatkan Langit, namun dari sisi liar Arin masih mengharapkan dirinya bisa mendapatkan Langit.
Langit yang baru saja lewat di sebelahnya membuat jantung Arin nyaris copot. Setelah dipikir-pikir betapa beruntungnya ia dapat bersentuhan dengan Langit.
Langit yang sebenarnya terlalu jauh untuk disentuh, Langit yang terlalu tinggi untuk dicapai, dan Langit yang terlalu luas untuk digenggam.
Tiga kalimat yang menggambarkan Langit bagi Arin.
===DON'T FORGET TO VOMMENT===
KAMU SEDANG MEMBACA
Langit di Bumi (Onhold)
Teen FictionCerita tentang gadis biasa, tidak cantik, tidak pintar, tidak pandai bicara, tidak pandai bergaul. Namanya Arin. Bukan cerita tentang benci jadi cinta. Atau tentang bad boy yaang menyukai cewek jutek. Atau cewek cerewet yang mencoba mencairkan hati...