===DON'T FORGET TO VOMMENT===
Arin masih terdiam di tempatnya, di depan pintu masuk kantin. Matanya bergerak mengikuti arah pergerakan Langit. Sedangkan Langit yang baru saja tiba di kantin, langsung mendapat sambutan dari teman-temannya.
Dia yang duduk di sebelah Langit dengan potongan rambut cepak, namanya Arya. Playboy yang baru saja dibahas Andini, Luna, dan Nadya. Jangan ditanya lagi bagaimana sejarah percintaan cowok bernama Arya ini, karena tidak cukup waktu satu minggu untuk membahasnya. Dan yang pasti, membosankan.
Disamping kanan Langit, cowok yang terlihat rapi dengan kacamata bertengger sempurna di hidung mancungnya, dia adalah Pon. Bukan, bukan Ponari. Nama aslinya adalah Galang, tapi karena ada nama Langit, dan akan membingungkan jika ada orang yang memanggil 'Lang' saat Galang dan Langit sedang bersama. Jadilah Pon sebagai nama panggilan untuk Galang, entah dari mana asal nama itu.
"Mau makan apa Lang?"
Dan orang yang baru saja bertanya, dia adalah Berlian atau sering dipanggil Lian. Nama yang indahkan? Seindah wajahnya. Kulitnya putih bersih tanpa noda, sepertinya jerawat pun enggan hanya untuk sekedar mampir ke wajahnya. Dan lagi hidung mancung, serta rambut yang tergerai indah di bahunya.
Beda dengan Arin yang wajahnya ada bekas-bekas jerawat walaupun tidak sebanyak punya Berta. Komedo diwajah Arin juga seperti tanaman yang selalu tumbuh setiap harinya.
"Langit doang yang ditanyain, dari tadi gue disini dianggurin," kata Arya menggoda Lian.
"Sirik aja lo," balas Langit, sambil memukul kepala Arya.
Lian tersenyum manis melihat Langit yang bisa dibilang sedang membelanya. Langit dan Lian, mereka benar-benar cocok dari hal apa pun. Dari segi tampang sudah tidak perlu ditanyakan lagi, Langit yang tampan dan Lian yang cantik.
Ya, Langit dan Lian berpacaran.
"Arin!" teriak seseorang.
Itu suara pecah dan becek milik Nadya. Karena suara itu kini Arin menjadi pusat perhatian seisi kantin. Hampir seluruh mata menatap Nadya dan Arin bergantian. Sepertinya Nadya harus diberi bimbingan konseling tentang rasa malu setelah ini.
Arin berjalan tertunduk menuju bangku yang telah diduduki ketiga sahabatnya. Arin menggerutu kesal setelah mendaratkan bokongnya disana.
"Nad, lo ini malu-maluin tau gak?"
"Bodo..." jawab Nadya acuh.
"Lagian lo kayak orang bego, melongo disana ngeliatin Langit sama Lian mesra-mesraan." kata Andini ikut menyalahkan sikap Arin.
Arin hanya bisa menekuk wajahnya sebal, dan disinilah Arin, menatap Langit dari kejauhan, mengaggumi Langit dalam diam, dan menjadi penonton setia dari kisah cinta Langit dan bidadari.
***
Jam pelajaran terakhir telah usai, dan semua anak kelas sepuluh tiga telah siap dengan tasnya masing-masing, termasuk Arin.
"Permisi adek-adek semua,"
Seseorang memasuki ruang kelas dengan membawa selembar kertas di tangannya. Tapi sepertinya dia tidak sendirian, beberapa orang di belakangnya mulai ikut memasuki kelas ini.
"Boleh minta waktunya sebentar? Gue Arif, gue ketua eskul mading..."
Arin memutar bola matanya malas, ia benar-benar lelah hari ini dan benar-benar membutuhkan vitamin b nya. Vitamin Bed.
"Ah gue mau pulang Nad," Arin mendesah pelan, mencoba mengadu kepada Nadya.
"Udah dengerin aja kek Rin, lagian lo belum milih eskul kan? Siapa tau lo minat di mading,"

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit di Bumi (Onhold)
Fiksi RemajaCerita tentang gadis biasa, tidak cantik, tidak pintar, tidak pandai bicara, tidak pandai bergaul. Namanya Arin. Bukan cerita tentang benci jadi cinta. Atau tentang bad boy yaang menyukai cewek jutek. Atau cewek cerewet yang mencoba mencairkan hati...