Langit ke-4

473 48 3
                                        

"Perut Arin sakit ma, terus nih...nih pegang deh," Arin mengangkat tangan mamanya dan di letakan di ceruk lehernya. "Panas kan ma,"

Pagi ini kamar Arin benar-benar berisik karena ulahnya sendiri yang merajuk tidak mau berangkat ke sekolah. Arin memasang wajah ingin menangis saat mamanya menarik tubuh Arin untuk bangun dari tempat tidur dan membuka tirai kamarnya lebar-lebar..

Fitri berulangkali menempelkan telapak tangannya di sekitar leher dan kening Arin, tapi suhu tubuh Arin normal-normal saja. Arin kembali menarik selimut yang sudah tersingkap separuh untuk menutupi seluruh tubuhnya sampai ke leher. "Gak panas kok, gak usah bohongin mama ya dek. Buruan bangun, sekolah, nanti dianter Bang Imi."

Arin mencebikan bibir saat aksi akting amatirnya tidak bisa menipu mamanya. Padahal yang tadi Arin sudah mengerahkan seluruh kemampuan aktingnya ala-ala drama korea yang sudah ia pelajari dari semalam.

"Bangun Rin! Gak usah manja deh. Lo lama gue tinggal ya bodo," seseorang laki-laki mengenakan celana boxer dan kaos putih muncul dari pintu kamar Arin sambil memegang cangkir berisi minuman kesukaannya. Eh Arin tidak tahu itu masuk dalam kelompok makanan atau minuman.

Namanya Hilmi Rahmansyah. Dia adalah kakak dari Karina Dwinta, satu ayah, satu ibu, satu darah. Tapi sepertinya darah Arin sudah bercampur dengan darah tetangga yang dibawa nyamuk aedes aegypty. Soalnya Arin suka dibilang mirip dengan Mbah Utomo, tetangga sebelahnya yang baru meninggal tahun kemarin.

Memang perlu berpikir ratusan kali dan riset mendalam untuk membuktikan bahwa keduanya adalah saudara kandung. Kata teman-teman SMP Arin, Arin itu cocoknya jadi pembantunya Hilmi dan kalau disuruh memilih film yang cocok untuk menggambarkan Hilmi dan Arin, jawabannya adalah Beauty and The Beast tapi diganti judulnya jadi Handsome and The Poor Beast.

Hilmi itu ganteng pake banget, kalau menikah dengan saudara sendiri itu tidak dilarang agama mungkin Arin sudah lama melamar kakaknya. Kadang Arin suka khilaf sendiri saat berada di dekat Hilmi, suka lendot-lendotan sambil tiduran di paha Hilmi. Duh...rasanya Arin mau mengeluarkan diri dari kartu keluarga.

Tapi ada yang Arin benci dari abangnya.

"Abang ih! Arin sakit beneran, sini pegang deh,"

Hilmi berjalan menuju tempat tidur Arin dengan tangan kanan yang masih setia memegang cangkir minionnya. Fitri hanya menggelengkan kepalanya berkali-kali melihat aksi keduanya. Lihat saja sebentar lagi pasti ada yang menangis atau minimal ada yang teriak-teriak karena dijahili.

Hilmi meletakan telapak tangannya di kening Arin, wajah Hilmi terlihat serius sambil sesekali mengangguk-anggukan kepala saat merasakan hangatnya suhu tubuh Arin.

"Hmm..." Hilmi bergumam panjang, diikuti tatapan menanti dari Arin dan mamanya. Arin merasa nyaman sekali saat Hilmi mengusap-usap pelan kepala Arin dan mengisir rambut Arin kebelakang.

DUK...

"Astagfirullah, Hilmi!"

Itu bukan suara bedug subuh apa lagi zuhur. Itu suara kepala Arin yang terbentur headboard tempat tidurnya. Hilmi baru saja menoyor kepala Arin yang tadinya diusap dengan sentuhan kasih sayang, sekarang sudah enyahkan seenak jidatnya.

"ABANG!" Arin mengusap bagian belakang kepalanya yang baru saja terkena musibah. Amarah Arin sudah tidak bisa dikontrol lagi, asap-asap banteng keluar dari hidung Arin. Arin menjambak rambut ikal Hilmi yang terpampang bebas di depannya, sampai beberapa menit pergulatan mereka berlangsung akhirnya Fitri mengalah keluar dari kamar. "Rasain!"

Bukannya menghindar dari kekejaman Arin, Hilmi justru mengikhlaskan rambutnya untuk dijambak-jambak Arin. Buktinya ia tidak melawan sama sekali, justru kedua tangannya malah memegang erat melindungi cangkir yang sedari tadi dibawanya.

Langit di Bumi (Onhold)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang