Arin masih diam tidak menjawab pertanyaan Langit. Seisi kelas juga ikut terdiam menunggu Arin mengeluarkan suara.
Sebenarnya di kelas ini belum banyak murid yang tahu nama Arin, hanya beberapa saja, itu pun karena mereka satu kelompok saat MOS. Arin bukan sosok yang menonjol di kelas, kalau dilihat sekilas tidak ada yang spesial dari sosok Arin.
Tidak seperti Nadya yang sudah menjadi incaran kakak kelas karena kecantikannya. Tidak juga seperti Andini yang memiliki suara indah dan sudah terbukti saat MOS kemarin. Dan yang jelas tidak seperti Luna yang menduduki peringkat dua di ujian masuk SMA ini.
Arin sendiri bingung, tidak ada yang bisa ditonjolkan dari dirinya selain bokong dan payudara serta jerawat di wajahnya.
"Karina Dwinta, kak." Nadya mengeluarkan suara lantangnya, membuat Arin tersadar dari lamunannya. Langit mulai menulis nama Arin di kertas yang di pegangnya.
"Duin apa Dwin?" tanya Langit lagi.
Nadya gemas sekali dengan Arin yang belum juga mengeluarkan suara. Nadya menyikut lengan Arin dan membuat Arin menoleh ke arahnya.
"Apa?" tanya Arin, Nadya menggerakkan matanya ke arah Langit. "E-eh saya gak jadi daftar kak, maaf..." suara Arin terdengar lirih.
"Ck, gimana sih." Langit berdecak keras. "Labil." sambungnya.
Arin menggigit pipi bagian dalamnya dengan keras, entah apa yang Arin rasakan. Ia benar-benar ingin menangis, kesan pertama yang ia berikan kepada Langit sudah jelek. Hatinya mencelos saat mendengar Langit menyebutnya dengan sebutan 'labil'. Itu kan ulah Nadya, kenapa jadi Arin yang terlihat jelek di mata Langit.
"Yang cantik di sebelahnya gak ikutan daftar?" Langit bersuara lagi, tapi yang jelas pertanyaan itu bukan untuk Arin. Mata Langit terkunci pada pergerakan Nadya yang terlihat masih bingung sambil tengok kanan-kiri.
"Namanya siapa?"
"Saya?" Nadya menunjuk dirinya sendiri dan dibalas anggukan dari Langit. "Nadya Prameswari, kak."
"Lo mah langsung melek ya Lang kalo ada yang cakep." kata Mira diiringi pukulan keras ke kepala Langit. Langit mengaduh dengan wajah misuh-misuhnya.
Suasana kelas langsung riuh dengan tawa saat melihat adegan yang ada di depan kelas.
Arin diam, entah kenapa dia merasa asing di kelas ini. Memang butuh adaptasi lama untuk orang semacam Arin menyesuaikan diri dengan lingkungan barunya. Kalau kata keluarga besarnya, Arin itu anaknya pemalu dan pendiam. Arin iya-iya saja dan tidak menyangkal toh itu memang kenyataanya.
Tapi kalau orang yang sudah mengenal dekat Arin, seperti Iris dan Bila -sahabat kecil Arin- mereka selalu bilang kalau Arin itu suka malu-maluin dan absurd. Arin sendiri bingung dengan kepribadiannya, dan sempat berpikir mungkin dia punya kepribadian ganda.
Rombongan anak-anak eskul mading sudah keluar dan beberapa anak di kelas sudah mulai meninggalkan ruangan, tapi Arin masih diam tidak beranjak dari duduknya.
"Rin, beneran lo gak mau ikut eskul?" Luna bertanya, Arin menggeleng lemah, dan dibalas anggukan dari tiga temannya.
Arin masih menganggap mereka teman, belum sampai pada tahap sahabat. Mimpi apa Arin bisa naik pangkat jadi sahabat mereka? Mengingat perkenalan mereka belum genap satu bulan, ditambah lagi sekarang Arin harus berpikir ulang untuk menjadikan mereka sahabat. Arin minder.
"Yaudah, pulang yuk!" seru Andini langsung bangkit dari bangkunya.
"Kalian duluan aja deh, gue masih nunggu abang gue."
"Lo punya abang, Rin? tanya Andini antusias, diikuti matanya yang berbinar-binar.
"Punya, kan gue udah pernah bilang." Eh apa belum ya?

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit di Bumi (Onhold)
Teen FictionCerita tentang gadis biasa, tidak cantik, tidak pintar, tidak pandai bicara, tidak pandai bergaul. Namanya Arin. Bukan cerita tentang benci jadi cinta. Atau tentang bad boy yaang menyukai cewek jutek. Atau cewek cerewet yang mencoba mencairkan hati...