Beberapa anak di dalam kantin serempak menekan layar ponsel berbarengan dengan Langit yang telah usai dengan aksinya. Lihat saja pasti sebentar lagi banyak video bertebaran di sosial media yang merekam detik-detik memalukan di hidup Arin.
"Parah banget lo Lang," Arya geleng-geleng kepala sekembalinya Langit dari meja Arin.
Mata Langit masih terus menatap ke tempat dimana Arin dan teman-temannya yang hanya berjarak satu meja dari tempatnya. Dari sini Langit bisa melihat Arin yang menangis terisak sambil memakan sotonya. Sedangkan Nadya dan Andini masih setia mengusap punggung Arin berharap sentuhan mereka bisa menenangkan Arin.
Sedangkan Luna, gadis itu terus memicingkan matanya ke arah Langit sambil mengoceh tidak jelas.
Sesaat Langit bingung, kenapa Arin tidak pergi dari sana dan malah meneruskan acara makannya? Apa Arin ini termasuk orang yang tidak tau malu, padahal seisi kantin ini sekarang sedang membicarakan dirinya.
"Jangan gitulah, harusnya lo bersyukur punya fans. Siapa tau dia istri masa depan lo, gak ada yang tau takdir Lang."
"Najis! Mending gue perjaka seumur hidup dari pada punya istri kayak dia, gak ada bagus-bagusnya," Langit sengaja mengeraskan suaranya, berharap Arin mendengar.
Langit terlihat jengah dengan respon yang diberikan Arin, benar-benar tidak sesuai ekspektasinya. Langit kira, Arin akan menangis kemudian menampar Langit dan berlalu pergi dari kantin dengan wajah yang merah padam. Tapi ternyata Arin ini benar-benar tidak terduga. Langit harus memberi pelajaran sekali lagi.
Langit bergerak naik ke atas meja kayu panjang dan mengundang perhatian murid lainnya.
"Pengumuman!" teriak Langit dari atas meja, semua mata tertuju pada Langit, kecuali Arin. "Cewek yang disana," tunjuk Langit pada Arin yang sedang fokus makan.
Arin tau, yang dimaksud Langit adalah dirinya. Tapi Arin mencoba untuk tidak menggubris itu dan terus memakan nasi sotonya.
"Dia itu freak, psiko, jadi buat lo semua ati-ati kalau ketemu dia. Bayangin aja, masa di hpnya banyak foto-foto gue! Terus ni ya, password hp nya," Langit menggantungkan ucapannya. "...nama gue!"
Tangis Arin semakin menjadi, bahkan beberapa kali air matanya masuk ke dalam mangkuk soto di meja. Percuma saja diusap, air matanya terus mengalir tanpa henti. Sekarang Arin merasa seperti pelaku pembunuhan, semua mata tertuju padanya.
Salah kalo aku suka sama kamu?
"Himbauan aja sih, biar gak ada korban-korban selanjutnya. Buat antisipasi, mending jauh-jauh deh dari dia!" Langit tersenyum miring. "Sekian!"
Bisik-bisik terdengar dari segala penjuru kantin, bahkan ada yang terang-terangan mengatai Arin 'PK'. Tubuh Arin bergetar kencang, isakannya semakin menjadi. Inilah sebabnya Arin tidak suka menjadi pusat perhatian dengan keadaanya yang 'begini'.
Arin dengan cepat menyelesaikan makannya dan segera bangkit dari bangku kantin membawa mangkuk bekasnya pergi.
"Rin!" Nadya memanggil Arin yang sudah berlalu dan tidak menoleh sama sekali. "Ngapain bawa-bawa mang-"
"Shiiiiiit!" teriak Langit saat air hangat berwarna kehitaman mengalir dari atas kepalanya, membasahi rambut, kemudian turun ke baju berwarna putih dan berakhir di celana abu-abunya.
"...kok."
"WOY ANJ-" saat Langit memutar tubuhnya, pelaku penyiraman air soto sudah tidak ada di tempatnya, menyisakan punggung kecil seseorang yang berjalan menjauh.
"Arin, nekat..." Andini mendesis.
Banyak yang tertawa diam-diam melihat Langit yang mendengus kesal dengan keadaan mandi soto seperti sekarang. Namun, ada juga yang tertawa terang-terangan bahkan terbahak-bahak sampai perutnya sakit. Siapa lagi kalau bukan Luna.
Saat merasa sudah berjalan lumayan jauh dari kantin, Arin segera berlari ke toilet yang terletak di bagian belakang. Dekat dengan Lab IPA. Toilet ini sangat jarang disambangi, karena letaknya yang tidak strategis dan kondisinya yang kurang terawat.
Berulang kali Arin mengusap kasar air matanya yang terus mengalir. Arin benci air matanya, Arin benci saat orang-orang menatapnya seperti kotoran menjijikan. Kadang menjadi tidak kasat mata lebih tentram, dibanding terkenal tapi terinjak.
"Mama...aku takut," Arin duduk di lantai salah satu bilik dan membenamkan wajahnya pada lekukan lututnya.
Ucapan Langit dan anak-anak lainnya, terus berputar-putar di otak kecil Arin.
Freak! Mesum! Psiko! PK!
"Mama...aku mau pulang," isakannya semakin menjadi. Arin merasa bebas karena tidak ada orang yang bisa mendengar keluh kesahnya. "Mama...Arin mau pindah," ucap Arin terputus-putus karena sesegukan.
"Berisik!"
Arin tercenung sejenak, entah bagaimana tangisnya tiba-tiba terhenti begitu saja. Apa barusan ia tidak salah dengar? Tapi Arin yakin ia mendengar suara seseorang dari luar toilet.
"Myrtle Merana?" ucap Arin pelan, sangat pelan.
Arin langsung berdiri dari membersihkan air mata di pipinya dan sesekali menepuk bagian belakang roknya. Kenapa bulu kuduk Arin bisa berdiri dengan kompak begini?
"S-siapa di luar?" tanya Arin memastikan. Tangannya meremas mangkuk soto yang sedari tadi ia genggam erat. Arin janji akan mengembalikannya nanti.
Seingat Arin, saat ia masuk ke dalam toilet ini, tidak ada orang sama sekali di luar. Karena rasa penasaran yang mendominasi, Arin memberanikan diri keluar dari toilet itu.
Saat kakinya mencapai ujung pintu toilet, mata Arin terus wasapada menatap ke arah depan dan mengangkat mangkuk putih itu tinggi-tinggi. Anggap saja senjata.
"Huh..." Arin menghembusakan napas lega saat melihat lingkungan hampa di depannya. Namun, otak Arin kembali bekerja. "Kalo bukan manusia, berarti..."
"Gue bukan setan,"
Arin terpaksa menoleh ke sayap kiri toilet, disana terdapat pohon besar pembatas antara Lab dan toilet yang konon katanya sudah ada sejak sekolah ini didirikan. Dan seseorang muncul dari balik pohon itu.
Sesosok cowok dengan penampilan yang....begitulah. Arin sendiri sangsi, jangan-jangan cowok yang sedang berdiri sambil memakan sebungkus batagor itu adalah preman kampung yang sengaja masuk ke sekolah. Lihat saja bajunya yang terbuka menampilkan kaos hitam yang bertuliskan 'JANGAN PERKERUH SITUASI KECUALI SITUASU' dan jangan lupakan rambut hitam legamnya yang hampir menutupi mata.
"Woy!" Arin tersentak saat cowok itu sudah berdiri di sebelahnya. "Lo kenapa nangis sampe teriak-teriak gitu? Positif ya?" tanya cowok itu sambil terus memakan batagornya.
Kaki Arin sudah memasang ancang-ancang akan berlari, tapi nanti Arin dianggap junior kurang ajar.
"Mending besok pagi tes lagi, kalo udah siang gini hasilnya kurang akurat. Besok pagi lo coba pake urin pertama lo, hasilnya pasti akurat," jelas cowok yang tidak diketahui namanya itu. "Nah! Saran gue, beli testpacknya jangan satu, tiga sekalian biar bapaknya anak lo percaya,"
Sekarang cowok di sebelah Arin ini malah tertawa. Arin membatin 'Bukan orang gilakan?'
☁☁☁
Pendek? Biarin dah ya, besok janji bakalan panjaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaang deh
Tapi boong

KAMU SEDANG MEMBACA
Langit di Bumi (Onhold)
Fiksi RemajaCerita tentang gadis biasa, tidak cantik, tidak pintar, tidak pandai bicara, tidak pandai bergaul. Namanya Arin. Bukan cerita tentang benci jadi cinta. Atau tentang bad boy yaang menyukai cewek jutek. Atau cewek cerewet yang mencoba mencairkan hati...