[Prolog] Yang Pernah Tumbuh dan Yang Tumbuh

553 50 31
                                    

March merah itu menggeram pelan di muka pagar rumah bercat putih itu. Sekitar dua menit lalu lelaki yang dijemputnya muncul di pintu dan memintanya untuk menunggunya beberapa saat lagi. Perempuan di balik kemudi membalasnya dengan anggukan berbalut senyum. Dengan tenang dan sabar mempersilakan lelaki berambut gondrong itu kembali ke dalam rumahnya untuk mengambil beberapa barang yang belum berhasil ia temukan.

Ujung jarinya menekan layar sentuh di televisi mungil di hadapannya. Mengganti saluran radio ke televisi. Mencari siaran berita pagi yang entah sejak kapan tak pernah absen ditontonnya. Sama seperti saat ini.

Senyumnya mengembang ketika penyiar berita membuka tema arus mudik lebaran. Topik yang tengah hangat menjelang libur panjang lebaran tahun ini. Ketika penyiar itu menghubungi reporter yang meliput di salah satu ruas jalan tol, perempuan itu tersenyum lebih ringan lagi.

Misha, perempuan berambut sebahu itu menyelipkan ujung poninya ke belakang telinga. Ia ingin mendengarkan suara itu dengan seksama. Suara yang sudah lama sekali tak pernah mampir di telinganya secara langsung. Suara yang sudah benar-benar berubah dibanding terakhir kali Misha bisa mengingatnya.

Tentu saja, terakhir kali Misha bertemu dengannya itu kelas tujuh. Di usianya yang sudah dua puluh empat, tentu seorang anak lelaki dengan suara cempreng sudah berubah banyak.

"Reporter kami Andira Fa akan melaporkan situasi terkini dari ruas Jalan Tol Cikopo-Palimanan. Andira Fa?" 

Lelaki di layar televisi membuka liputannya, membuat senyum Misha kembali meletup.

Ketika itulah sosok yang ditunggunya datang, membuka pintu dan meminta maaf dengan nada tak enak.

"Maaf, ya, lama. Aku lupa contoh katalog yang kemarin dikirim Banyu. Hah..."

Misha mengangguk dan membiarkan laki-laki bertubuh kurus dengan kulit pucat itu duduk di seat depan. Memasang seatbelt sambil terus merasa tak enak harus membuatnya menjemput dan menunggunya.

"Mama bawa pick-up buat belanja bahan, maaf banget kamu sampai harus jemput aku."

Misha tersenyum geli, "Santai, Ko... Kaya orang asing aja."

Iko menoleh dan meringis, "Makasih, yaa, Misha. Kak Misha memang terbaaaik!"

"Apa, sih, Boboiboy. Hahaha..." Kali ini Misha tak bisa apa-apa selain tertawa. Ujung jarinya menekan volume televisi saat teman seperjalanannya ke tempat kerja itu sibuk membolak-balik halaman kertas yang dibawanya.

"...sampai dengan pagi ini belum terjadi penumpukan kendaraan. Arus mudik di Tol Cikopo-Palimanan terhitung lancar sejak semalam..."

"Eh, ini bukannya teman kamu, Sha?"

Misha mengangguk. Matanya tak lepas dari layar televisi.

"Ini toh alasan kamu rajin nonton berita pagi Metro? Hahaha."

Misha mengiyakan dengan anggukan, lantas menyambut tawa geli Iko atas dirinya. Dia mengakui, dia memang menggelikan. Mengagumi sosok yang saat ini terasa jauh sekali rasanya sangat konyol, bukan? Sudah lewat sewindu dan ia masih saja seperti gadis usia belasan yang malu-malu dengan cinta pertamanya.

"Temen SMP kamu, kan?"

Misha mengangguk.

"Dia tambah ganteng, ya, sekarang?"

Misha mengangguk lagi, separuh tak sadar dengan pertanyaan Iko karena terlalu fokus. Sedetik kemudian ia kaget oleh tawa Iko yang terbahak. Dengan wajah memerah, Misha memukul lengan Iko.

"Kamu, ih..."

"Kalau kangen kenapa nggak dihubungi aja?"

"Hmm... Siapalah aku ini, Ko. Dia di TV, pegang mikrofon. Aku di workshop, main mesin bubut, bau minyak cat."

Reunion 24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang