Yang Menyilaukan, Yang Membutakan (1)

67 11 3
                                    

Mio dan Tanner

"Pak, gigi-gigiannya berapaan?"

Mio selalu ingat kejadian itu. Tan di usia TK. Tubuh mininya selalu terlempar dari kerumunan anak-anak yang mengerubuti abang penjual mainan. Tapi kali itu ia berhasil mengambil satu mainan plastik diantara anak-anak yang lain. Gigi drakula palsu.

"Lima ratusan, dek."

Tan merengut. Uang di kantongnya tinggal tiga ratus perak. Gagal sudah punya gigi drakula seperti teman-temannya.

Ibu Mio yang gemas menghampiri dan membelikannya satu. Tak terkira senangnya Tan ketika menerima mainan itu. Ia berlari pergi sambil menggeram-geram.

Sialnya, karena terlalu mendalami peran, keesokan harinya orang tua Tan dipanggil ke sekolah. Tan mengejar teman-temannya dan menggigit leher mereka hingga lebam.

"Astagaaaa! Miooo! Mio, kan?!"

Tapi kali ini yang ada di hadapan Mio sama sekali bukan Tanner yang kanibal dulu. Sosok yang berlari kecil ke arahnya itu tidak lagi punya gigi drakula yang dibaluri liur tak terkendali. Malah senyum lebar yang entah mengapa nyaris mengalahkan siang hari di sekolah mereka.

"Oooy, Taaaan!"

Tan mengenakan kemeja putih dengan motif pesawat kertas kecil-kecil. Kancingnya dibiarkan terbuka, membuat kemeja itu beterbangan kesana kemari selama ia berlari, memamerkan kaos hitam tanpa lengan di baliknya. 

Mio tertawa geli melihatnya mengenakan celana pendek dengan warna biru navy. Di matanya itu sama seperti seragam SMP mereka dulu.

"Mio! Gila! Gue kangen banget sama loooo!" Tan nyaris saja memeluk Mio kalau saja Mio tak lebih dulu menahan jidat Tan yang sudah nyosor duluan.

"Weeeh! Ganti lagi warna rambut?"

"Ah, elu... Kaya yang laen aja, suka ngomentarin rambut." Tan menyisir rambut birunya ke atas. Mempertahankan rambut yang sudah rapi di-styling itu agar terus antusias menantang matahari.

"Hihihi, susah emang yaaa, jadi artis."

Tan tertawa saja. Ia menggenggam kedua bahu Mio, dan sedikit membungkuk agar wajahnya sejajar dengan Mio. Iya, membungkuk. Tubuhnya sudah lebih tinggi dengan bahu yang lebar.

"Serius, Mi, gue kangen banget sama lo. Ternyata lo dari dulu sampe sekarang masih gini-gini aja, ya?" wajah Tan sumringah sekali.

Tapi kalimat Tan nyatanya malah membuat Mio mengeluarkan 'hehe' kering yang panjang.

***

Tadinya Mio ingin sedikit lebih rapih di acara reuni ini. Dengan sisa uang saku, ia beli kemeja baru, menyesuaikan dress code mereka hari ini: putih. Tapi lupakan rok atau sepatu hak tinggi. Sejak dulu Mio tidak ahli dalam hal itu. Jadi sudahlah, lebih baik pakai celana jeans dan running shoes bututnya saja. Toh ia pada akhirnya cuma mangkal di parkiran, di mulut gerbang masuk sekolah lainnya. Menanggalkan kemeja baru yang membuatnya gerah dan memakai dalaman kaos Mickey Mouse-nya saja. Ya, jadi tukang parkir.

"Mi, masuk sana lo! Gabung sama tante-tante laennya, kek, malah jadi tukang parkir." sindir Ojan, salah satu dari teman-teman lelakinya yang sengaja nongkrong di depan sekolah. Di tangannya ada buku tamu dan smartphone nya sendiri. Ia sibuk memasukkan nomor ponsel teman-teman yang baru datang ke gawainya.

"Ogah, ah. Nggak bawa bayi gue!" canda Mio disambut tawa teman-temannya.

Ya, tentu saja. Di halaman dalam sekolah mereka sudah berkumpul teman-temannya. Teman-teman perempuan Mio sudah berubah menjadi wanita-wanita dewasa yang piawai berdandan. Beberapa membawa bayi dan balita mereka, sementara suami-suami menunggu di depan sekolah.

Bukan tanpa alasan Mio memilih menepi dari mereka. Selain obrolan penuh gosip yang tak bisa dikejarnya, atau tema khas wanita seperti fashion, beauty, parenting, yang kesusahan dicernanya, sebenarnya Mio jauh lebih merasa terasing karena tak merasa ikut menyumbang perubahan sebagai bahan obrolan.

Mio masih begini-begini saja. Cewek tomboi, jomblo, nganggur. Apa yang perlu diceritakan pada mereka? Mio sudah malas duluan membayangkan reaksi mereka jika mendengar ceritanya yang itu-itu saja.

Lebih baik disini, menyambut teman-teman yang baru datang. Dilingkupi teman-teman laki-laki jauh lebih nyaman bagi Mio. Mereka lebih cuek. Toh sejak dulu ia lebih banyak bergaul dengan mereka.

"Siapa tuh?!"

Semua orang menoleh ke arah parkiran, menanti siapa yang akan muncul dari balik kemudi Nissan March warna merah cerah itu.

"Wih, Mishaaa!"

"Subhanalloh... Cantik banget!"

Sesosok perempuan berambut pixie turun dari mobil. Dibandingkan penampilan rambutnya yang tampak keras, ia mengenakan kardigan putih yang menjuntai panjang hingga betisnya yang jenjang. Di baliknya ia tampak santun memakai kemeja longgar putih tulang dengan simpul di pinggangnya, menonjolkan pinggang ramping dan kaki panjangnya yang dibalut celana denim semata kaki dan sepatu adidas putih.

Ah... Mio jadi terbiasa melihat penampilan temannya dari atas ke bawah, lantas minder dengan penampakan dirinya sendiri.

"Mio, apa kabar?"

"Hai, Mishaaa!" karena disapa, Mio mau tak mau jadi mendekat. Sementara lelaki-lelaki di sekelilingnya melongo, meleleh jadi genangan menerima senyum malu-malu Misha.

Misha teman sekelas Mio waktu kelas 8. Sebetulnya mereka tidak begitu akrab. Misha pemalu dan tertutup, sementara Mio tidak bisa diam di satu tempat dan lebih suka nimbrung anak-anak cowok main bola.

Lihat saja, ia kikuk ketika Misha mengajaknya cipika-cipiki. Mio tak terbiasa dengan salam semacam itu, bahkan di usianya yang sebentar lagi jadi ibu-ibu.

"Sini-sini, Misha, isi buku tamu dulu. Ojan, ih! Jangan dikekepin mulu bukunya, woy!"

"Oh! Eheheh iya. Silakan, Misha." Ojan salting. Menyodorkan buku tamunya dan bersiap mencatat nomor ponsel Misha setelah ini. Mio makin mencibir.

"Teman-teman yang lain sudah pada datang, Mi?" tanya Misha serius. Matanya menelusuri daftar hadir, seolah mencari sebuah nama.

"Udah, noh! Udah rame banget di dalem. Masuk aja, Sha," Mio menyambut dengan nada riang.

"Mio masuk juga, yuk."

"Ehm... Aku disini aja, deh, Sha... Hehehe."

"Lho kenapa?"

"Udah, sih, Mi! Temenin Misha aja kenapa? Daripada lo disini jadi tukang parkir, ngurangin jatah gue markirin aja!" protes Ojan disambut teman lainnya.

"Ehm..." Mio cuma bisa bergumam, panjang. Bimbang, terlebih melihat wajah memelas Misha yang minta ditemani.

"Waaah! Mishaaa!" suara gedebak-gedebuk datang lagi. Teriakannya panjang, dan semakin dekat jaraknya, semakin lantang. Tanner datang membawa dua cup Pop Ice dari warung sebelah sekolah dan menubruk Misha dengan rangkulan akrabnya.

"Oh, hai, Tan."

"Baru dateng? Yuk, buruan masuk, temen-temen udah pada ngumpul, lhoh!" sambar Tanner sambil menyeret Misha dengan lengannya.

"Eh... Tapi, Mio..."

"Udaaah, Mio biar disini aja jagain buku tamu, biar penyambutnya ada manis-manisnya dikit. Ojan, lo gantian jaga parkir sana! Kasian Mio gue dipanas-panasin, entah item!"

Tanner mengedipkan matanya ke arah Mio. Menyodorkan satu minuman cokelat kepada Mio, lalu menyeret Misha ke dalam.

"Ayuk, ayuk! Eh, lo mau es cokelat juga, nggak?" obrolan Tanner dengan Misha menghilang begitu saja. Meninggalkan Mio yang merasa lega, tapi harus menerima omelan Ojan.

"Yeee, item mah item aja. Kenapa gue yang harus tanggung jawab." setengah menggerutu, Ojan menuruti permintaan Tanner. Ia melipir pergi ke arah area parkir. Menyambut mobil lain yang baru datang.

Mobil yang membuat rasa tak enak Mio lenyap bersama gelak tawanya dan teman-teman lain melihat siapa yang muncul dari dalam mobil itu.

Nara dan... RAFA!

"HAHAHHA! Mampus Ojan ketemu musuh bebuyutannya."

***

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 06, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Reunion 24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang