Yang Terlewat Sambil Menutup Mata (1)

179 29 7
                                    

Nara dan Rafa

Tahun ini usianya dua puluh empat, tapi Nara tak bisa mengingat kapan terakhir kali mematut diri di cermin sambil berdebar tak karuan begini. Mungkin ketika wawancara kerja? Itu lebih ke debaran gugup, dan setelan blazer monokrom resmi jauh lebih mudah ditanggulangi daripada janji semacam ini.

Reuni, kan? Reuni saja. Nara hanya akan bertemu teman-teman semasa SMP-nya dulu, yang mana, tentu saja, bukan lagi orang-orang asing yang perlu ia khawatirkan tentang apa yang harus ditinggalkan pada kesan pertama.

Tapi tetap tidak sesederhana itu, begitu debat Vero, teman semasa kecilnya yang kini mengontrak di rumah lamanya. Semenjak Nara datang pagi tadi, mereka berbincang banyak tentang reuni dan cerita-cerita yang Nara tinggalkan di dalamnya.

Reuni bisa berarti pembuktian diri. Seberapa jauh kamu sudah berubah, seberapa jauh kamu sudah melangkah, seberapa tinggi puncak yang kamu daki selepas perpisahan itu. Ajang pamer, begitu simpul Nara dari penjelasan Vero.

Tapi apa gunanya? Nara tidak begitu mengkhawatirkan hal itu. Ia tidak peduli bagaimana pandangan teman-temannya dulu tentangnya. Toh ia melangkah dan melangkah sama seperti ia melewati masa remajanya dulu. Ia menikmati segalanya, kecuali satu hal yang tertinggal ini.

Rafa.

Tentu dialah yang membuat Nara jadi segugup ini. Ia tak peduli anggapan orang, tapi sangat peduli seperti apa nantinya ia di mata Rafa.

Ini debaran yang lebih rumit daripada itu. Lebih dari gugup, ada rindu yang menyelip. Tapi ada kerisauan lain yang terkadang memunculkan pilihan untuk tidak perlu datang, tidak perlu bertemu, mundur saja. Dari balik itu semua, ada degupan harapan. Ada sedikit rasa yang mengemis untuk dihidupkan kembali. Rasa yang cukup mendesak, sama mendesaknya dengan perasaan malu atas semua yang sudah lewat.

Apa mereka akan baik-baik saja setelah bertemu?

***

Setiap nama Rafa muncul, entah nama yang melekat pada sosok yang diingatnya itu atau nama orang lain, Nara selalu teringat pada satu tarikan kecil di lengan kemeja seragamnya. Tarikan kecil yang cukup untuk membuatnya limbung ke tepi jalan, menyelamatkannya dari terjangan sepeda motor yang lupa cara mengerem. Lalu wajah Rafa yang menatapnya waktu itu, seolah menanyakan, "Kamu nggak papa?", atau mengatakan, "Jangan jalan sambil melamun."

Tentu saja itu bukan kali pertama ia bertemu dengan Rafa. Ia sudah mengenal Rafa sejak dua tahun sebelumnya, meski tidak juga akrab. Nara dan Rafa teman sekelas sejak kelas tujuh. Di masa peralihan dari kanak-kanak menjadi remaja itu, mereka terpisah oleh dua sisi pergaulan yang berbeda.

Nara lebih sering berkumpul dengan gadis-gadis cerewet yang suka histeris membicarakan kakak kelas ganteng, sementara Rafa asik dengan teman-temannya di lapangan basket. Ketika Nara dan gengnya cekikikan di kantin, Rafa dan gerombolannya asik kipas-kipas di bawah pohon mangga. Terus begitu hingga mereka naik kelas delapan dan disibukkan dengan kegiatan klub yang berbeda.

Nara lebih suka menghabiskan waktu menjadi pengurus Koperasi dari OSIS, duduk nyaman di dalam ruangan sambil melayani teman-teman yang butuh buku atau alat tulis lainnya. Sementara Rafa lebih suka mandi matahari, aktif di ekskul Pramuka hingga ia diangkat menjadi ketua umumnya.

Singkatnya, mereka tidak punya alasan dan banyak kesempatan untuk saling bicara banyak dan mengenal jauh. Hingga hari itu, ketika mereka naik kelas sembilan dan di tempatkan pada kelas yang bersebelahan, Nara melihat sesuatu yang berbeda dari Rafa.

***

BRAK!

Suara meja yang menghantam lantai membuat koridor kelas 9 D-E-F terdiam. Nara yang waktu itu sedang duduk-duduk di depan kelasnya, kelas 9E, spontan ikut menatap horror ke arah asal suara. Rafa menyeret meja kayu yang berjajar di pinggir lapangan basket dengan kasar. Langkah-langkahnya panjang dan terlihat gusar. Ia mengangkat sendiri meja kayu itu menyebrangi selokan kecil di tepi koridor depan kelas 9D, lalu menghempaskannya kasar ke lantai koridor.

Reunion 24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang