Part 1

1.4K 3 7
                                    

Nory menggerakkan jemarinya mengikuti garis tipis miniset yang terlipat rapi di atas tempat tidurnya. Ibunya pasti baru membelikan miniset2 putih polos ini hari ini. Nory mendudukkan dirinya di pinggir tempat tidur sebelum mengambil satu miniset dan menempelkannya di bagian depan dadanya. Miniset itu dipilihkan sesuai dengan Nory. Polos, putih, tak berenda. Lebih mirip dengan sports bra. Pas dengan kepribadiannya yang tak menyukai hal-hal rumit. Sesuai, memang...tapi Nory tetap saja membenci miniset-miniset tak berdosa itu.

Ia menghitung balik. Tahun ini ia berumur 13 tahun. Semenjak ia menyadari perubahan-perubahan di badannya, ia malah memakai singlet dua atau kadang tiga lapis agar dadanya tetap rata. Buat dia, perubahan di dadanya membuat ia tak sebebas biasanya untuk olahraga. Apa pun itu. Nory amat suka berolahraga. Lari, basket, apa pun saja. Ia merasa harus selalu bergerak, karena ia tak ingin setan-setan di kepalanya untuk mempunyai kata. Bergerak hingga setan-setan itu lelah, begitu pikirnya.

Nory tahu ia tak bisa lagi bergantung dengan singlet. Bahwa ada waktu dimana ia pun harus memakai pakaian dalam yang membedakan kelaminnya dengan teman-teman bermainnya. Ia tahu itu, bahkan ia tahu juga mengenai datang bulan dan kewajiban apa yang ia harus lakukan setelah datang bulan agar ia dapat kembali sholat. Ibunya sudah memastikan ia tahu peraturan itu semua. Ketika ibunya dengan senyum simpul mengajarkan ritual untuk wanita, ibunya memandangnya penuh cinta dan rasa bangga. Nory menelan ludahnya dengan pahit. Ia iri dengan abangnya yang mempunyai obrolan yang sama, tetapi dengan ayah mereka. Ia iri abangnya tak akan melewati haid, walaupun kata abangnya ia tetap harus tahu ritual mandi yang sama yang diajari kepada Nory. Entah untuk apa, abangnya tak mau memberitahunya. Nory melipat kembali miniset di tempat tidurnya dan bersiap mengaturnya di lemari ketika ia dengar ibunya memanggil, "Nory, jangan lupa kamu pakai satu yaa!" Ibunya. Bagaimanakah ibu-ibu itu seperti selalu mempunyai mata di punggung mereka? Kemampuan menembus dinding dan jarak? Mengapa mereka bisa selalu tahu apa yang anak-anaknya hendak lakukan atau tidak? Baru saja Nory hendak menaruh saja miniset itu tanpa memakainya sama sekali. Huh! Dengan terpaksa Nory memakai satu miniset, "oh, gak terlalu ngeganggu ternyata," pikirnya.

"Ma, abang mana?" tanya Nory. Biasanya di pukul lima, sesudah mereka sholat asar, Dirga, abangnya, sudah bersiap untuk pergi ke klub basketnya. Nory selalu ikut. Ia juga punya klub basket sendiri, tetapi ia suka berlatih bersama teman-teman abangnya. Lebih menantang karena mereka lebih cepat, lebih tinggi, dan lebih kuat. Itu semua memaksa Nory untuk bekerja lebih keras untuk lebih baik. "Abang kamu ada di luar kayaknya, lagi main basket di ring depan."

Risha keluar dari kamarnya. Umur Risha baru sepuluh tahun. Di tangannya ada Lala Loopsie. Boneka bulat-bulat yang banyak kancingnya. Risha tersenyum lebar melihat Nory dan berlari memeluknya. Nory mengelus rambut Risha perlahan. Risha adalah anak perempuan paling manis yang Nory pernah kenal. Bukan hanya karena ia adalah adik kandungnya, tetapi memang begitulah personalitynya. Risha amat penyayang, manja, dan mudah memperlihatkan kasih sayangnya. Matanya besar dan ramah, bulu matanya panjang, dan alisnya tipis seperti diukir merendai mata bulatnya. Betapa berbedanya dengan Nory. Menurut orang-orang, Nory cantik. Tetapi ia lebih cocok dibilang cakap, bukan cantik. Badannya atletik, alisnya berantakan, dan ada jarak yang lebar di antara kedua alisnya. Bulu matanya juga panjang dan lentik, seperti juga Dirga. Ia mirip sekali dengan Dirga, hanya versi perempuannya. Versi perempuan, apakah artinya itu? Terkadang pertanyaan itu terlintas di kepala Nory.

Ada satu sosok lagi yang melengkapi keluarga Nory. Nenek perempuan yaitu ibu dari ayahnya. Ia memanggilnya Opung Dirga. Bukan karena opungnya mempunyai nama yang sama dengan abangnya, tetapi karena di adat Batak, opungnya akan mengadaptasi nama cucu laki-laki pertamanya. Karena itulah neneknya pun dipanggil Opung Dirga. Opung Dirga masih belum terlalu tua. Umurnya baru saja 58 tahun. Papa adalah anak tunggalnya Opung. Nory tak pernah mengenal opung laki-lakinya yang bernama Nuruddin. Ia meninggal ketika papanya masih di kandungan opung Dirga, karena sakit malaria. Opung Dirga sosok menarik untuk Nory, karena di tengah ngetopnya yoga sekarang ini, Opung Dirga sudah peyogi jauh sebelum Nory lahir. Kata Opung ia belajar yoga dari teman Indianya di Medan jaman dahulu. Badan Opung Dirga masih amat sangat lentur dan indah, tak disangka dibalik baju panjang yang selalu Opung pakai, lengkap dengan songkoknya. Ia tak pernah menikah lagi semenjak Opung Nuruddin meninggal, padahal Opung hanya berumur 16 tahun waktu itu. Nory pernah bertanya kenapa, tetapi Opung hanya memandang jauh ke depan, tanpa menjawab apa-apa.

AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang