Part 7

327 4 0
                                    

Sejarah Opung Dirga sebenarnya cukup sedih. Ia menikah dengan Opung Nuruddin ketika ia baru berumur 15 tahun. Muda sekali menurut hitungan zaman Nory, tentu saja...tetapi normal untuk zaman opungnya. Semenjak meninggalnya Opung Nuruddin ketika kehamilan Opung Dirga hanya berumur 3 bulan, Opung Dirga lengkap menjadi working single mom. Karena keadaan, yang membesarkan papanya adalah orang tua dari Opung Dirga, sementara Opungnya berjualan beras di Medan. Tak banyak sejarah Opung Dirga yang diketahui Nory. Walaupun Opung Dirga tinggal bersamanya semenjak ia kecil, ia hanya tahu dimanja sama Opungnya. Khas remaja memang, lupa bahwa setiap sosok mempunyai sejarah perjalanan kehidupannya sendiri.

Sesampainya Opung dan Nory di rumah, mereka mengepak dengan tas kecil karena hanya akan direncanakan pergi beberapa hari saja.

"Pung, kita naik apa?"
"Kita naik bis ke stasiun kereta."

"Emang Opung tahu caranya ke stasiun kereta?"

"Tinggal tanyalah, andungku."

"Opung, kalau kita nyasar gimana?"

"Bah, kau pun ini. Kenapa lebih berani Opungmu daripada anak muda seperti kau ini, Nory? Tak usahlah kau takut. Opungmu ini dulu lama pula bertahan di Medan. Jangankan preman Jakarta, preman Medan pun Opungmu dulu tak takut. Sudah siap kau?"

"Udah, Pung. Mama tadi bilang boleh, Pung?"

"Iya."

"Mama tahu kan tempat teman Opung yang di Bogor itu?"

"Tahulah dia itu. Mamamu pernah mengantar Opung pula kesana. Papamu pun tahu."

Dimulailah perjalanan Opung dan cucunya itu.

Jakarta selalu macet, tentu saja. Tetapi kali itu bis tak bergerak sama sekali. Nory berdiri hanya untuk melihat ratusan, mungkin ribuan kendaraan yang lain di depannya sama sekali tak bergerak. Ia mendengar obrolan kiri dan kanan bahwa ada demo di bunderan HI, dan karena banyak kendaraan mencari jalan alternatif, maka daerah lain pun penuh sesak. Di tengah desas desus penumpang lain, ia mendengar demo ini meneruskan yang ramai di berita kemarin, mengenai kelompok LGBT dan tuntutannya. Kepala Nory sedikit pusing. Ia menatap Opung di sebelahnya yang menatap keluar, hampir tanpa ekspresi mengambil pusing sama sekali.

"Pung, kita bisa-bisa gak bergerak disini terus."

"Kau mau jalan, ndung?"

"Masih jauh sih, Pung..."

"Ya kalau begitu kita disini saja dulu, sekalian kau bisa cerita kenapa kemarin kau sampai sakit begitu."

Nory terdiam dan tertunduk. Bunyi ping dari teleponnya menandakan ada WA yang menegur. Ia tak membukanya.

"Kau tau, ndung...Opung sudah melihat banyak kali perubahan di dunia ini. Apalagi kalau dari cerita-cerita orang tua dulu. Sudah tua bumi ini, ndung...sudah tua."

Nory mengangguk-angguk walau tak terlalu mengerti.

"Kau liat dulu ibu yang menggendong anaknya di dekat warung itu, liat kau?"

Nory menengok ke arah telunjuk opungnya.

"Iya, kenapa ibu itu memang, Pung?"

"Kau pikir, apa identitas ibu itu? Apakah nama anaknya? Nama suaminya? Alamatnya?"

"Nggg...identitas ibu itu? Ya semuanya itu termasuk identitas ibu tersebut kayaknya, Pung."

"Nah...iya, kan? Kelompok yang ribut LGBT itu? Mereka bilang identitas mereka adalah LGBT. Padahal, sejak kapan heteroseksual atau homoseksual itu suatu identitas?"

Nory tersedak. Ia belum pernah berbicara atau mendengar orang dewasa berbicara dengannya seakan-akan ia juga cukup dewasa untuk bertukar pikiran mengenai "seks".

"Kau ada suka sama orang sekarang?"

"Suka? Ya suka sama teman-teman akulah, pung."

"Bukan seperti itu...apa namanya itu, naksir. Ya, naksir. Kau ada naksir seseorang?"

"Ah Opung!"

"Tak perlulah kau jawab, tak apa. Tapi siapa pun yang kau taksir itu, maupun dia perempuan, laki-laki, atau makhluk angkasa luar, kau tahu bahwa yang salah itu bukan perasaan naksir, tapi perbuatan yang mengikuti perasaan. Kau tahu itu, andung?"

Nory mengangguk.

"Kau pikir kalau perempuan suka sama laki-laki, atau laki-laki suka sama perempuan. Lalu mereka belum nikah, bolehkah mereka berdua-dua?"

Nory menggeleng.

"Kalau perempuan suka sama perempuan, atau laki-laki sama laki-laki, lalu mereka berlaku lebih dari teman, boleh?"

Nory menggeleng, "Ya lebih gak boleh lagi, Pung..." suara Nory lirih.

"Bukan lebih gak boleh, Nory. Sama tak boleh. Yang pertama tak boleh, yang kedua tak boleh. Perasaan itu lebih sering bukan ada di tangan kita, andung. Tapi apa yang kita perbuat karena perasaan itu, yang dihakimi oleh Tuhan. Perjuangannya adalah gimana caranya agar perbuatan kita tak selalu diperintah oleh perasaan kita."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 10, 2016 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang