Nory lurus memandang ke papan tulis, hampir tak berkedip. Pak Sam, guru agama mereka baru selesai mengajar dan mengucapkan salam keluar. Baim asyik menggambar manga di sebelahnya. Ia mendengar Baim menggumam sesuatu, tetapi suaranya seperti terdengar dari dalam air, tak jelas dan bergema.
"Nory!" tegur Baim akhirnya. Nory terkejut dan melihat ke arah Baim. Air matanya sudah membanjiri pipinya. Nory lari keluar karena perutnya merasa mual yang parah, dan ia malu luar biasa karena Baim melihatnya menangis. Di kamar mandi Nory muntah-muntah. Terdengar suara lembut Gita di pintu utama kamar mandi, "Nory...Nory...lo kenapa?" Suara Vitri kemudian menyahut dari luar, "Nory! Gue panggilin Suster Kapti yaa!" Nory masih tak bisa menjawab, muntah-muntah di depan toilet. Tak lama Suster Kapti, suster klinik sekolah mereka menyampiri Nory. Dengan penuh kesabaran ia memegang rambut sebahu ke belakang agar tidak terkena muntah. Nory lemas terduduk di lantai toilet yang tentu saja tak bersih. Suster Kapti menarik tangannya dan memapahnya ke klinik. Selang beberapa lama, mamanya datang menjemputnya. Mamanya terlihat agak panik, karena belum pernah melihat Nory dalam keadaan demikian.
"Kita langsung ke dokter ya, sayang?" lembut ibunya mengelus rambut Nory.
"Nory boleh langsung pulang aja gak ma?" jawab Nory.
"Loh, kita harus periksa kamu kenapa..."
"Aku cuma mau tidur ma, boleh gak?" Mata Nory kembali berkaca-kaca.
Mamanya tahu bahwa ada yang salah, amat salah dengan Nory. Tetapi kelihatannya yang salah bukan di badan. Hanya firasat saja sebenarnya, Nory bukan anak yang mudah sakit. Dia olahragawati handal semenjak kecil. Mamanya tak berkata apa-apa. Ia menggandeng tangan Nory untuk kemudian membawanya pulang.
"Kenapa kau, nakku?" tegur Opungnya ketika Nory masuk. Nory hanya mengucapkan salam dengan lemah. Opung Dirga menarik tangan Nory perlahan dari tangan mama. Ia tidurkan Nory di tempat tidurnya tanpa berganti baju. Suara di TV memberitakan kelompok LGBT yang menuntut agar pernikahan sesama kelamin dikenali juga oleh pemerintah karena menurut mereka itu adalah hak asasi kemanusiaan. Nory terhenti di ruang tamu, di dekat satu-satunya TV di rumah mereka yang besar.
"Kok berhenti, Narita?" Opungnya memanggil nama lengkap Nory. Nory tak menjawab, tetapi lagi-lagi ia menangis deras, dan lari ke kamar mandi untuk melanjutkan muntah-muntahnya. Mama menelepon Papa dengan panik. Opung berjalan cepat hendak menemani Nory, sementara bel pulang sekolah untuk Dirga dan Risha tak lama berbunyi tanpa ada penjemput untuk mereka pulang. Sore yang tak tenang. Sore yang mengundang lebih banyak pertanyaan daripada jawaban.
KAMU SEDANG MEMBACA
AKU
General FictionSiapakah aku? Normalkah aku? Cerita tentang remaja puber 13 tahun yang melewati pertanyaan-pertanyaan eksistensialisme. Dibantu oleh opungnya, ia mengarungi belantara keremajaan yang tak biasa.