Part 5

424 3 0
                                    


Sore menjelang malam Nory menghabiskan waktunya di kamar Dirga. Dirga hanya mendengar kejadian di sekolah dari teman-teman sesama basketnya yang seangkatan dengan Nory. Ia bingung, tetapi tak berkata apa-apa ketika bertemu Nory di rumah. Ketika mengetahui tentang Nory sakit, ia hanya berjalan ke gedung SD dan menjemput adiknya untuk naik angkatan umum pulang.

Rhisa yang memang manis menciumi pipi Nory ketika masuk. Mukanya sedih memandang Nory dan berkata, "Kak Nory jangan sakit dong...Risha kan jadi ikut sedih..." Nory tersenyum memaksa, mencoba mengusir rasa khawatir di wajah Risha.

Selagi Dirga mengerjakan tugas sekolahnya, ada suara lirih yang hampir tak terdengar berkata, "Bang, aku ngejijikin gak sih?" Dirga yang sedang konsentrasi tersentak. Ngejijikin? Pertanyaan aneh banget dari adeknya yang memang gak pernah nanya hal-hal biasa. Tapi ini pertanyaan teraneh yang pernah ia dengar dari Nory. Dirga mencoba tak menganggap serius dan menjawab, "Ya kamu emang megang apa? Kalo abis ngupil terus kamu ngelap ke baju ya jijiklaah!" Dirga memutar kursinya dari hadapan komputernya ke arah tempat tidur dimana Nory terbaring sambil membaca. Nory menatapnya serius. Alis matanya yang biasanya lebar kini tertaut. Dirga tahu Nory tidak dalam mood bercanda. Ia taruh pen special untuk menggambar di media komputer perlahan dan menghadap Nory. Tangan kurus berototnya bertaut dan disokong dengan lututnya, ia menunduk, mendekatkan kursi berodanya ke arah tempat tidur.

"Kamu? Ngejijikin? Kok kamu bisa sampai ke kesimpulan kayak gitu sih, Nor?" Lagi-lagi entah untuk keberapa kalinya hari itu, mata Nory berkaca-kaca. Nory tak mengerti dirinya. Sejak kapan dia cengeng? Kenapa sih hati ini gak bisa dia atur lagi? Dari kamar Dirga yang bersebelahan dengan ruang tamu, ia bisa mendengar komentar mamanya yang mengomentari berita seharian ini. "Aneh-aneh aja sih nih jaman sekarang LGBT? Bukannya coba jadi normal malah minta hak aneh-aneh lagi!" Nory tak berkomentar, Dirga apalagi.

"Kamu jajan apaan sih, ampe muntah-muntah parah kayak tadi?" Dirga memutuskan untuk menanyakan langsung kejadian di sekolah. Pikiran Nory tiba-tiba melayang ke kejadian satu tahun yang lalu, tumpukan miniset. Entah kenapa. Betapa pendeknya umur miniset-miniset itu. Beberapa hari yang lalu ibunya telah membelikannya set BH dia yang pertama, karena kini dia sudah 14 tahun dan semakin berkembang. Semua, semua dari perangkat fisiknya jelas mengatakan dia itu perempuan. Anak perempuan SEHARUSNYA suka sama laki-laki. Begitu kata alam. Kalau tidak, menjijikkan, begitu muka pak Sam, guru agamanya berkata tadi siang. Pak Sam, salah satu guru favoritnya karena ia suka sekali mendengarkan kisah-kisah teladannya. Siang itu pak Sam menceritakan tentang kaum Luth AS. Kaum Luth yang cabul, kaum Luth yang terkutuk. Mereka menyukai sesama jenis. Muka pak Sam kini terpampang jelas lagi di pikiran Nory. Perut Nory mual kembali luar biasa, ia berlari keluar dari kamar Dirga dan hanya sanggup mengeluarkan air. Nory merasa dirinya menjijikkan. Mengapa ia tertarik justru dengan perempuan, bukan dengan laki-laki? Setan-setan dirinya terlalu sibuk berbicara, pikirnya. Suara panik mamanya kembali terdengar, mengurusinya yang terduduk di kamar mandi rumahnya. Dirga mengangkat Nory yang kini hanya terduduk lemas. "Nory, kita ke rumah sakit sekarang juga!" tegas ibunya. Nory melihat tajam ke arah ibunya, dengan sisa tenaganya ia berteriak, "Nory gak mau! Nory mau sendiri! Tinggalin Nory sendiriiiiiii!" Detik itu pun Nory menyesal. Ia tak pernah berteriak ke mamanya. Mamanya tersentak, hampir membalas dengan kesal. Tetapi Dirga bergegas menggendongnya, mengangkatnya ke kamar Dirga karena kamarnya sendiri ada di ruang atas.

"Mungkin Nory hanya melewati pubertas, sayang..." Papa menenangkan Mama di telepon.

"Kok bisa beda banget sih ama Dirga? Kan Dirga udah ngelewatin waktu itu duluan, yang?" jawab Mama.

"Ya dia kan perempuan, kamu dulu gitu gak? Apa dia PMS (pre menstrual symptoms)?" tanya Papa lagi.

"Aku gak inget ampe muntah-muntah terus nangis-nangis, apalagi sampai berantem sama ibu? Aku yakin deh Bang, ada kejadian lain di sekolah..." tukas Mama.

"Sampai dia sendiri setuju untuk pergi ke dokter sih kita biarin ajalah, Ma. Besok jangan disuruh sekolah dulu ya. Juga jangan dimarahin dia, kita kasih dia 'space'," Papa berkesimpulan.

AKUTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang