Rumah Hangat
YANG Fluorine harapkan; pilihannya tidak salah untuk tinggal di rumah ini. Terkadang, Fluorine juga merasa bersalah sudah memasuki kehidupan seseorang yang membenci dirinya.
***
“ANGGAP sekarang ini rumah kamu, Fluo!” dia perempuan paruh baya, Laura, memperkenalkan rumahnya untuk Fluorine.
Laura, pemilik rumah, menunggu satpam membukakan gerbang untuk mereka. Digandengnya tangan Fluorine yang masih bergetar karena kebingungan. Laura memberikan senyum tulusnya untuk gadis itu. Bahkan, dia yang menyeret gadis itu masuk ke halaman luas yang tertutup gerbang emas tinggi.
Entah apa yang ada di pemikiran Fluorine. Berapa banyak uang yang digunakan untuk membangun rumah ini. Lapisan cat emas yang mengelilingi pagar menjulang tinggi, taman yang sangat lebar diisi dengan bunga-bunga mawar merah yang berduri, air mancur di sudut sana yang terus mengeluarkan percikannya.
Ah, tidak bisa di bayangkan lebih detail lagi. Ada juga beberapa jenis bebatuan yang tertempel pada setengah dinding halaman rumah ini, batu khas rumah-rumah konglomerat, menurut Fluorine.
“Arsen kemana, Pak? Pokoknya kalau Arsen sudah pulang, bilang anak angkat saya sudah datang. Takutnya, dia kaget,”
Di sana ada Fluorine yang memandangi Laura-orang tua angkatnya sedang berbincang dengan satpam. Fluorine memandang sekitar garasi, hanya terdapat satu mobil hitam metalik.
Tadinya, Fluorine menggunakan taxi untuk kesini. Mata Fluorine menginterupsi untuk melihat sekitar, pasti akan lelah jika akan berjalan untuk menyirami tanaman, luasnya rumah ini memakan jarak yang tak sedikit. Atau, Fluorine bisa bermain bola di tempat ini, bahkan bisa sambil berlari-larian untuk mengelilingi halaman ini.
“Biar Mama tunjukin kamar kamu,” Laura bersuara, membuat Fluorine tersenyum canggung.
“Iya, Tan,”
“Loh? Anggap Mama kamu, Fluo,” Laura menjawab dengan senyuman manisnya, sangat manis.
“I-iya, Ma,”
Mama.
Awal pertama ia menyebut orang asing sebagai Mama. Bahkan, kepada Ibu kandungnya sendiri, ia belum pernah memanggilnya dengan sebutan Bunda, Ibu, ataupun, Mama.
Satu langkahan kaki sebelah kanannya sudah membuat tubuhnya seperti menerima hawa salju. Sedari tadi, dia di luar merasakan panas teriknya matahari. Namun, sekarang sudah berubah menjadi suhu air conditioner.
Aroma pengharum ruangan sudah menyebar menjadi satu di udara. Menyeruak memasuki alat indra penciumannya. Seperti, aroma rumah-rumah orang kaya, kata Fluorine.
Fluorine mengikuti Laura yang melangkahkan kakinya menginjak anak tangga. Tangga yang melingkar di sudut ruangan, langsung mempersembahkan dua ruang kamar dan ruang santai yang hanya terisi sofa, home theater, dan PS.
“Kamar kamu di sana, kalau yang di situ kamar Arsen. Biasanya tiap malem, Arsen masih nongkrong di sini,”
Fluorine hanya tersenyum sekilas. Dia kembali menginterupsi matanya untuk menatap sekeliling. Ruangannya sangat lebar. Lagian, di sini sangat rapi. Fluorine bisa merasakan, bahwa rumah ini benar-benar tertib. Semua barang-barang tersimpan pada tempatnya. Dari beberapa kaset film, kaset PS, dan beberapa camilan tertata rapi. Ada poster besar bergambar grup band The Beatles.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arsen dan Fluorine ✔
Teen Fiction(COMPLETED) Ini bukan pembahasan tentang senyawa dalam sistem periodik yang akan dipadukan. Namun, ini kisah tentang 'Arsen yang membenci Fluorine' Akan aku kenalkan kalian kepada Arsen, serta persahabatan mereka. Kisah remaja yang masih labil kare...