[4.] Nyaman

301 50 4
                                    

Nyaman

ARSEN mengangguk, "Siapa yang suruh lo ngintilin gue?" Dia memutar bola matanya malas, "Ini konsekuensi. Gue bilang juga apa; lo bakalan nyelakain diri lo sendiri, kalau lo selalu memaksakan kehendak."

***

Arsen mulai mengerjapkan kedua kelopak matanya. Semua tubuhnya seolah merasakan remuk di bagian belakangnya. Ukuran tempat yang ia tiduri, tidak seperti biasanya yang bisa ia buat berguling-guling kesini dan kemari. Ada yang aneh, di tempat ini. Namun, ia masih belum menemukan keganjalannnya. Oh, dia tertidur di sofa ruangan santainya. Ada selimut hangat yang ia genakan sekarang. Ada guling dan bantal yang juga ia pakai.

Semalam, Arsen melihat Violieta. Bahkan, Arsen juga memeluk dia. Dan, anehnya, Arsen juga menangis di pundak Adiknya. Kemarin, dia juga melihat Violieta menonton drama kesukaannya. Maka dari itu dia mulai mendatangi Adiknya di sini. Tunggu dulu, Violieta sudah tidak ada. Namun kenyataannya, pelukan itu masih terasa sampai detik ini. Kenyamanan yang Violieta berikan untuk Arsen semalam.

"Sen, Mama lo ada pertemuan di Bandung!"

Arsen masih diam. Dia masih terduduk di sofa dengan selembar selimut tebal yang membungkus tubuhnya.

"Lo kenapa?"

Perempuan itu mendekat, dan terduduk di samping Arsen. Tepat seperti semalam dimana dia terduduk disamping Arsen. Namun bedanya, mungkin Arsen merasakan duduk di samping Adiknya.

Tangan gadis itu terjulur untuk memegang kening Arsen. Ada atmosfer kehangatan di tiap lekukan kulit yang ia pegang.

Arsen deman.

"Lo sakit?"

Arsen menggeleng.

"Kemarin, gue liat---" sepertinya tenggorokan Arsen begitu sulit untuk mengatakannya. Matanya memandang lurus ke suaru pusat dengan tatapan kosong.

"---Adek lo?" Fluorine berhasil melanjutkan ucapan Arsen.

Catat, perlu sekalian untuk diberi garis bawah. Ini pertama kalinya dia berkontak lisan dengan Arsen. Pertama kali, tanpa ada penolakan, ataupun kata pedas. Arsen menganggukan kepalanya. Fluorine terdiam. Jadi, Arsen belum tahu. Semalam, adalah dirinya. Bahkan, Arsen memanggil adik pada dirinya. Fluorine ingin berkata, tetapi Arsen masih sibuk melamun. Jadi, ini bukan waktu yang tepat.

"Lo demam," Fluorine berkata pelan, sangat pelan. Fluorine takut, Arsen akan kembali marah padanya jika dia mengguruinya.

"Gue nggak papa," kata Arsen.

Arsen berdiri dari sofa. Dia melirik sekilas jam besar yang bediri di sudut ruangan. Begitu pula setelahnya Arsen melirik, ada bunyi dentuman tujuh kali dari dinamo jam itu. Itu tandanya, sekarang sudah jam tujuh pagi.

"Mama kemana, Fluo?" tanyanya.

Ini bukan pertanyaan yang berupa kata kepemilikan seperti; "Mama gue kemana, Fluo?" Bukan, bukannya Fluorine besar kepala atau sebagainya. Namun, ini beda dari biasanya.

"Ada pertemuan di Bandung,"

"Oh,"

Fluorine terdiam.

"Arsen sebenernya baik, kok. Sudah, jangan dimasukan hati,"

***

Fluorine membasahi kain merah muda dengan air hangat. Dia mulai memerasnya hingga kain itu hanya menyisahkan lembab. Dia menempelkan pada kening lelaki yang kini berada di depannya. Fluorine tahu, Arsen berkata tidak apa. Namun, Fluorine sadar; Arsen bukan sakit panas bisa.

Arsen dan Fluorine ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang