Bimbang
ARSEN mulai membawa Fluorine yang tertidur masuk ke dalam rumah, selepas motor Fernando mencelos dari perumahannya. Dia menatap wajah damai itu ketika tertidur.
***
Arsen memasang snapback-nya sambil berjalan. Dia agak berlari kecil dari tiap lorong ke lorong. Sepatunya berdecit ketika ia sampai ujung koridor. Melirik ke kanan dan ke kiri. Ternyata, sudah sepi. Sebagian siswa pulang lebih awal. Ada lomba basket di DBL. Sebenarnya, Arsen termasuk dalam tim basket itu. Namun, Arsen merasa dirinya kurang sehat.
Dering telepon membuatnya harus berdiam di tikungan koridor. Dia mulai merogoh kantongnya dan menerima panggilan itu. Sebelumnya, ia masih membaca singkat nama yang memanggilnya.
Mama.
"Kenapa, Ma?"
"..."
"Udah bel pulang ini. Iyalah, langsung pulang, kok!"
"..."
"Apa? Fluorine?"
Sepertinya Arsen melupakan satu poin penting. Fluorine sudah satu rumah dengannya. Jadi, apapun yang terjadi, Fluorine adalah tanggung jawab Arsen. Ralat, bukan Arsen yang menginginkan sepenuhnya bertanggung kepada Fluorine. Mamanya yang menyuruh Arsen untuk menganggap Fluorine sebagai adiknya. Jadi, tugas Arsen mulai detik ini adalah; menjaga Fluorine seperti menjaga Violieta dahulu.
Tanpa menunggu jawaban dari Mamanya, Arsen segera menutup teleponnya. Arsen berbalik arah. Arsen kembali melewati lorong-lorong. Arsen kembali berlari pada lorong koridor. Sepatu decitan membuat ruangan berisik karena sepatunya. Di sini cukup sepi, membuat suara bergema. Arsen juga menaiki anak tangga untuk kembali ke kelasnya. Ada rasa lega, ketika kelas masih terbuka sepenuhnya. Ada siswa yang masih melaksanakan jadwal piket.
Arsen mencari satu orang di antara tujuh orang yang menyapu. Sayangnya, di sana dia tidak menemukan sosok itu. Ah, Arsen melupakan sosok itu. Bahkan, tadi pagi dia sudah meninggalkan gadis itu di pinggir jalan. Sekarang, dia melakukannya lagi. Dia malah melupakan gadis itu. Kemungkinan besar, gadis itu sudah pulang terlebih dahulu.
Arsen mengeluarkan telepon genggamnya. Dia mencari kontak nama di dalam sana. 'Fluorine'. Ah, Arsen melupakannya. Arsen tidak punya kontak gadis itu. Apa yang harus dia lakukan. Kakinya kembali lagi melewati anak tangga. Dia melewati koridor untuk yang kesekian kalinya. Masih ada satu harapan yang mungkin saja berhasil. Dia mencari kontak Mamanya.
Arsen mendecak. Mamanya belum tahu, jika Fluorine tidak bersama dirinya.
***
Fluorine melirik Alexandre Christie di pergelangan tangannya. Jarum putih berukir bunga menunjukan angka empat. Itu tandanya, hari ini mulai sore. Fluorine masih tetap melangkah. Dahaga mulai menyapa di tenggorokannya yang kering. Ingin segera ada aliran air yang mencelos di tenggorokannya. Merogoh saku tidak menemukan satu peserpun. Arah kemana lagi yang harus dia tempuh dengan badan lemas seperti ini.
Di sini Fluorine baru sadar; bahwa hidup penuh perjuangan. Dari sini Flourine tahu; tidak mempunyai kedudukan, hidup akan di rendahkan orang. Di sini pula Fluorine paham; tidak ada satupun orang yang tulus padanya, kecuali orang tuanya sendiri. Lupakan soal orang tua, dia belum pernah melihat wajah Ibunya. Bahkan, rasa kasih tulus itu, Fluorine tak pernah merasakannya. Namun, setidaknya, Ibunya masih bisa meninggalkannya di tempat yang terjamin, tempat yang layak. Dan, setidaknya, tempat itu yang bisa melindunginya dari panas dan hujan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Arsen dan Fluorine ✔
Teen Fiction(COMPLETED) Ini bukan pembahasan tentang senyawa dalam sistem periodik yang akan dipadukan. Namun, ini kisah tentang 'Arsen yang membenci Fluorine' Akan aku kenalkan kalian kepada Arsen, serta persahabatan mereka. Kisah remaja yang masih labil kare...