Dera duduk gelisah di samping Deni. Saat ini, mereka berada di dalam mobil menuju ke rumah Deni. Sekalipun Hani sudah mencoba untuk membujuk agar malam ini mereka menginap di sana, tapi Tuan Deni tak merubah pendiriannya.
Dera meremas sendiri kedua tangannya yang berada di pangkuan.
"Ada apa?" Deni bertanya lembut saat menyadari kegelisahan gadis itu.
"Ehmm ...."
"Katakan saja."
Deni duduk menyamping. "Ada apa?" Ia bertanya dengan tak sabar. Ohh, biasanya, dirinya bisa dengan mudah menebak pikiran orang-orang di sekitarnya. Dengan Dera, ia seperti orang buta. Tak bisa menduga ataupun menerka apa yang ada di pikiran gadis itu. Membuatnya frustrasi.
Dera menelan ludah dengan susah payah sebelum berkata, "Bo-bolehkan saya meminta sesuatu?"
Senyum Deni merekah. "Tentu saja, kau bisa meminta apa pun padaku."
"Bisakah pernikahannya ditunda dulu?"
"Ditunda? Itu sudah terjadi, bagaimana bisa ditunda?"
Deni mengerutkan dahi bingung.ia mengingat kembali percakapannya dengan Ayu. "Ma-maksud saya ... Pernikahan yang akan terjadi."
"Ikrar pernikahan hanya terjadi sekali."
Dera mulai berpikir jika Ayu sudah mengerjai dirinya. Ia merasa sedikit lega jika memang tidak akan ada yang terjadi, apalagi seperti yang Ayu sampaikan tadi. "Berarti nanti malam tidak akan ada malam pernikahan?"
"Maksudmu, malam pengantin?" Deni terkekeh geli. Ia menoleh ke depan sebentar sambil menjentikkan jari. Memastikan agar supirnya tidak mendengar satu kata pun dari percakapannya bersama Dera.
"Ohh iya, itu namanya."
"Kau mau menundanya?"
"Jika boleh."
"Apa alasanmu menundanya?"
"Ehh, supaya saya bisa bersiap-siap."
"Bagaimana caramu bersiap-siap?"
Dera melebarkan matanya. Ia tak tahu. "Itu--"
"Sudah kuduga kau tak tahu apa-apa." Deni sedikit kesal. "Apa kakakmu yang mengajari agar kau meminta hal itu padaku?"
Dera membelalak makin lebar. "Ti-tidak."
"Berarti benar, Kakakmu." Deni mengulurkan tangannya untuk membelai pelipis Dera. Merapikan rambut gadis itu ke belakang telinganya. "Aku tak bisa mengabulkan itu."
"Ta-tapi--" Dera gemetar. Sungguh, dirinya takut pria itu akan menyakitinya seperti yang disampaikan Ayu.
"Kau mau aku kembalikan ke orang tuamu?" Deni menggapai telepon mobil yang terletak di samping bangku kemudi dan menghubungi seseorang. "Lex, putar balik! Dan batalkan semua kontrak kerja bersama PT Wijaya! Sita semua aset mereka jika tidak bisa melunasi hutang saat ini juga!"
Dera terperanjat. Seketika menengadah menatap Deni. "Ja-jangan... Saya tidak akan pulang."
"Aku tak suka dibantah." Deni berujar kaku. "Sebaiknya kau tahu, apa yang kulakukan pada orangtuamu hanya dalam sekejap."
"Ma-maaf," Dera memberanikan diri menyentuh lengan pria itu. "Maaf," ia mengulangi. Namun, pria tetap diam dan terus menatap ke depan.
"Sa-saya bersedia melakukan apapun, tolong." Ia akhirnya memberikan penawaran terakhir yang ia bisa.
"Benarkah, a-pa-pun?" Deni akhirnya menoleh. Tatapannya menelisik Dera. Ia tahu, Dera mengatakan itu karena terpaksa.
Melihat senyum mengejek Deni membuat Dera sadar, sepertinya ia telah mengatakan hal yang salah. Pria ini pasti akan memanfaatkan hal itu. Tapi bagaimanapun juga, dirinya tak sampai hati membayangkan orang tuanya bangkrut. Bayangan Papa dan Mamanya hidup di jalanan, miskin, tidak punya rumah dan kelaparan membuatnya sedih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Obsesi Sang Pewaris Takhta
FantasyManusia adalah makhluk keji yang seharusnya ia benci. Karena ulah manusia pula hingga akhirnya negeri, kerajaan, dan juga kaumnya musnah. Hanya dia satu-satunya penyihir yang masih bertahan hidup dan tak akan bisa mati hingga seluruh kehidupan di bu...