Menunggu bukanlah hal menyenangkan.
Kuangkat wajahku menatap langit kelabu yang mengeluarkan suara gemuruh.
Padahal beberapa menit yang lalu matahari sedang terik-teriknya...
Langit mulai menangis. Awalnya perlahan. Kerajaan langit mengerahkan prajurit-prajurit kecilnya. Tapi lama-kelamaan prajurit yang dikerahkannya semakin banyak. Mereka menyerang bumi...dengan air hujan yang sangat deras.
Kabut menyelimuti pandanganku. Aku hanya bisa berdiri di teras sebuah rumah tua yang sepertinya sudah sangat lama tidak dihuni.
Aku adalah anak desa—setidaknya untuk satu minggu ini. Selama beberapa hari ini sedikit-banyak aku mulai mengenal kehidupan warga di sini. Mereka hidup sederhana, saling membantu satu dengan lainnya.
Berbeda sekali dengan apa yang selama ini kulihat...
Aku tidak sendiri — tentu saja. Awalnya aku tidak tertarik untuk mengikuti kegiatan semacam ini. Sekolahku adalah sekolah yang bisa dibilang tidak terlalu unggul dalam bidang akademis. Walau tidak jarang siswa kami membawa pulang medali dari berbagai macam warna setiap kali kembali dari perlombaan, pertandingan, maupun olimpiade. Tapi di sini perkembangan karakter dan kehidupan sosial kami dituntut untuk lebih unggul dari yang lainnya.
Setidaknya begitu yang kuingat dari sambutan ketua panitia beberapa hari lalu seputar alasan apa pentingnya kegiatan ini bagi kami ke depannya. Tapi tetap saja...aku merasa ini semua tidak ada untungnya bagiku. Aku memang tidak suka bersosialisasi. Aku tidak peduli apa kata mereka. Asal kalian tidak menggangguku, aku akan melakukan hal yang sama. Itulah slogan hidupku. Menyedihkan? Tidak usah dijawab...aku sudah tahu apa jawaban kalian.
Andai saja ada pangeran berkuda datang padaku dan mengantarku pulang dengan kudanya...kami berdua pasti basah kuyup.
"Tidak ada kisah dari negeri dongeng yang semenyedihkan itu, kan?"
Aku bertanya pada diriku sendiri seakan berusaha mencari topik di bawah sunyi dan dinginnya hujan yang ditemani angin ini.
Aku khawatir. Kalau saja aku tidak ada di sini munkin aku tidak akan khawatir. Ayah dan ibuku mungkin tidak terlalu peduli jika aku kehujanan seperti ini. Tapi nenek yang menjadi orangtua angkatku selama aku tinggal di desa ini pasti sedang mencariku...atau mungkin tidak.
"Astaga...di sini kau rupanya!"
Suara itu terdengar tidak jauh dariku diikuti dengan suara derap langkah terburu-buru. Aku hanya terdiam saat mendengarnya. Satu, aku tidak tahu kalimat itu ditujukan pada siapa. Dua, aku tidak yakin kalimat itu ditujukan padaku. Tiga, aku sadar tidak ada satu manusia selain aku dan orang tadi.
"Thea?"
Aku mengangkat wajahku yang tadi tertunduk — menatap tetesan air hujan yang jatuh dari atap dan membasahi tanah dengan lubang-lubang kecil yang sepertinya sengaja dibuat oleh makhluk-makhluk kecil yang tak ingin kusebut namanya untuk tempat tinggal mereka. Kupeluk kedua kakiku erat saat aku melihat siapa yang memanggil namaku barusan.
Senyuman menghiasi wajah tampannya yang basah oleh hujan.
"Thea?"
Aku tidak ingat kapan aku menyebutkan namaku padanya atau kapan aku memperkenalkan diri padanya. Tapi yang jelas...ia mengetahui namaku.
"Hm?"
Aku terdiam lagi — tidak tahu harus membalas apa dan harus berkata apa padanya yang kini berdiri tepat di sebelahku.
"Nenek Lou mencarimu ke mana-mana. Katanya beliau khawatir karena memintamu mencari kayu bakar seorang diri."
"Aku tidak apa. Hanya saja...hujan."
Kualihkan pandanganku sekilas dari butiran hujan ke wajahnya. Senyum yang sama masih berada di sana. Aku terus menatap wajahnya. Sampai akhirnya ia menatapku balik dan pandangan kami bertemu.
Senyumnya melebar.
"Hujannya lumayan deras, ya? Padahal tadi panas sekali."
"Iya..."
Kesunyian menyelimuti kami.
Aku hanya bisa berdoa dalam hati supaya hujan ini cepat reda dan aku bisa segera kembali ke rumah. Aku sangat tidak suka bertemu orang baru. Tidak ada alasan khusus, hanya saja aku merasa canggung jika harus bersama mereka selama beberapa saat--bahkan mungkin hanya beberapa menit.
"Apa kau kedinginan?"
Sesuatu yang lembut dan sedikit basah menyentuh pundakku, menyelimuti bagian atas kepalaku dan nyaris menutupi sedikit pandanganku.
"Tidak..."
Aku baru saja hendak bertanya padanya apa maksud dari ini tadi, tapi ia hanya tersenyum.
"Pakai saja."
"Tapi kau..."
"Tidak apa."
"Terima kasih...."
Kami kembali tenggelam dalam kesunyian. Hm...tidak seluruhnya sunyi karena kami masih bisa mendengar suara rintikan air hujan dan suara kendaraan dari jarak yang sangat jauh.
"Kau dari kelas mana?"
Tiba-tiba saja sebuah pertanyaan terlontar dari bibirku. Aku sendiri bahkan tidak menyadarinya.
"Kelas paling terakhir. Sepertinya aku sudah mengatakannya saat perkenalan dulu?"
"Maafkan aku, ingatanku cukup payah."
"Jangan katakan kau juga tidak ingat namaku?"
Aku hanya meringis dan mengulurkan tanganku padanya dengan sedikit ragu--apakah ia berkenan menyambutnya atau tidak.
"Thea."
"Kenapa...kau malah menyebut namaku?"
"Cobalah ingat namaku."
"Tidak bisa."
"Kau pasti pernah mendengarnya. Lagipula kita sudah tiga tahun bersekolah di sekolah yang sama."
"Tapi aku tidak pernah sekelas denganmu. Tapi mungkin aku pernah mendengarnya..."
"Kau memang pernah mendengarnya, tapi kau mengabaikannya."
"Maafkan aku."
"Coba putar ingatanmu."
"Aku tidak bisa melakukan yang seperti itu."
"Thea."
Setelah itu berlangsung debat yang cukup lama. Tapi akhirnya...orang asing itu menyerah atas kepayahanku dalam mengingat namanya dan menyambut tanganku yang masih terulur padanya.
"Hans."
"Thea."
"Aku sudah tahu."
"Hm...kalau begitu aku mengatakannya hanya sebagai formalitas."
Hans menatapku dingin. Melihat itu entah kenapa aku merasa ada hal aneh yang seakan mengalir di tubuhku dan segera kulepaskan tangannya — yang baru kusadari ternyata masih menggenggam tanganku.
Tapi ia malah menggenggam tanganku lebih erat.
"Hans?"
Aku mengangkat wajahku dan pandangan kami bertemu.
Lagi.
Hans menatapku dengan mata biru lautnya yang indah dan menghela napas panjang yang sangat panjang.
"Kita tunggu sampaihujannya reda, ya?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Ending
Short StoryAku tidak pernah menyangka bahwa diriku akan mengalami dan merasakan hal yang sama sekali tak kuinginkan. Awalnya aku tidak menyadarinya. Sampai akhirnya aku sadar...saat semuanya sudah terlambat.