"Kau...siapa?"
Tampar aku atas pertanyaan bodohku ini. Tapi sungguh, aku benar-benar tidak ingat siapa laki-laki tinggi yang berbicara seolah kami saling mengenal di hadapanku saat ini.
Aku sadar betapa terkejut dirinya atas pertanyaanku barusan. Tapi ia hanya tersenyum...dan tertawa.
"Kenapa kau tertawa..."
Aku benar-benar merasa bodoh sekarang. Kuputar ingatanku dan berusaha keras mengingat siapa dirinya, sementara ia tertawa keras sambil memeluk perutnya.
Apa yang membuat hal ini lucu baginya?
"Kau benar-benar tidak ingat siapa aku? Sepertinya kita pernah mengobrol cukup lama sebelumnya. Kau Thea, kan?"
Aku mengangguk dengan sangat perlahan karena fokusku terbagi pada dua hal — mendengar tawanya dan memutar ingatan dari masa lalu di kepalaku.
"Tak usah kaupikirkan. Bagaimana kau bisa mendapatkan angka ini?"
Ia menunjuk coretan abstrak yang ada di hadapanku. Aku mulai menjelaskan padanya. Ia mengangguk-angguk dan sesekali bertanya.
"Kurasa kau tidak pantas disebut pintar."
"Ha?"
Setelah mengucapkan kata-kata yang ramah tadi apakah ia berencana untuk menghinaku?
Belum sempat ia menjawab, seorang pria paruh baya dengan rambut keperakan memasuki ruangan dan menulis beberapa angka yang sangat besar di papan tulis.
"Itu jawabannya. Apakah ada yang berhasil?"
Angka yang sama dengan hasil coretan abstrakku...
"Kau jenius."
Hanya dengan dua kata dan tepukan ringan di pundakku, laki-laki yang terlupakan itu meninggalkanku.
***
Tidak lama bel berbunyi. Hal pertama yang kudapat adalah...tiga tepukan keras yang sudah kuketahui pelakunya mendarat di punggungku.
"Kau kenal Hans?"
"Siapa?"
"Hans."
"Hans siapa?"
"Hans! Astaga! Kau tidak kenal Hans?"
"Kalau aku jawab tidak?"
"Astaga, Thea. Hans itu... Hans yang mengobrol denganmu di kelas tadi!"
"Tidak ada teman sekelasku yang bernama Hans."
"Memang bukan dari kelasmu, tapi dari kelas lain!"
Sheila menatapku dengan mata berapi-api.
"Jangan katakan kau tidak mengenalnya."
Apa itu berarti aku hanya bisa berkata bahwa aku mengenalnya? Tapi mungkin aku pernah bertemu dengannya. Tapi kenapa aku tidak ingat?
"Aku...lupa siapa dia."
Tapi tak bisa dipungkiri juga bahwa aku tidak mengenalnya karena sepertinya ia mengenalku.
Kenapa tiba-tiba aku merasa jahat karena melupakannya?
"Thea, itu sama saja."
"Aku sudah mengubah kata-kataku sedikit. Jadi itu tidak sama."
Sheila menghela napas panjang dengan berlebihan seraya menarik kursi yang ada di depanku dan memutarnya kasar.
"Dengar, Thea. Orang yang mengobrol denganmu saat kelas tadi adalah Hans."
"Oh, terima kasih sudah mengingatkanku."
"Thea, kau sudah tiga bulan bersekolah di sini dan tidak mengenalnya?"
"Kenapa aku harus?"
Sheila menatapku tanpa berkedip.
Astaga. Melihatnya menatapku seperti itu membuatku merasa sangat bersalah.
Tapi kenapa aku merasa bersalah?
Aku merasa seperti berada di luar duniaku. Semuanya terasa memusingkan. Aku merasa dunia ini baik-baik saja sampai tadi pagi. Tapi sekarang...semuanya terasa asing. Apa aku sempat tertidur dan melewatkan hal yang sangat penting?
Aku kembali menatap Sheila setelah berdialog dengan diriku sendiri.
Tidak pernah aku melihatnya seperti ini...
Hari itu juga aku mendapat informasi baru yang sebetulnya tidak terlalu penting bagiku tapi mungkin cukup berguna untuk kelangsungan hidupku di sekolah ini jika aku tidak mau dianggap anak culun yang kurang pergaulan.
Hans.
Anak kelas deretan akhir yang aku sendiri tidak tahu persis kelas mana.
Anak salah satu pengajar beladiri di sekolah kami.
Anak beladiri sekaligus pengajar di sana — dan itu berarti dia sudah memenangkan banyak pertandingan sejak kecil.
Anak yang dikenal hampir seluruh warga sekolah — tidak terkecuali guru dan kakak kelas.
Anak yang kutemui saat kegiatan terakhir di SMP.
Anak yang...selama ini muncul di dalam mimpiku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Happy Ending
Short StoryAku tidak pernah menyangka bahwa diriku akan mengalami dan merasakan hal yang sama sekali tak kuinginkan. Awalnya aku tidak menyadarinya. Sampai akhirnya aku sadar...saat semuanya sudah terlambat.