Kegembiraan Hujan

244 26 7
                                    

Musim hujan masih membayangi Tokyo. Ribuan payung terkembang memenuhi jalanan, berderet warna-warni bagai jamur hidup yang bisa berjalan. Satu dua berlarian menuju stasiun, bergegas. Takut kehilangan kereta. Ada juga yang sengaja berteduh karena lupa membawa payung, menepuk-nepuk rambut dan pakaiannya yang melembab karena tertimpa air hujan. 'Ah, ada banyak sekali tanggapan berbeda dari masing orang mengenai hujan'.

Misalnya, surai biru langit itu. Yang lain sibuk menyelamatkan diri dari basah, dia malah tenang saja ditengah hujan. Wajahnya begitu menikmati, damai, meski tertutup kabut pokerfacenya. Ia dengan santainya, melangkahkan kaki mungil itu melalui jalanan Tokyo yang kini menjadi basah. Satu-hap. Dua-hap. Dan, hap. Hap.

"Ini menyenangkan," dia berseru.

Senyumnya terkembang setelah berhasil menandaskan lompatannya pada genangan air yang menghalangi jalan. Hatinya begitu riang mendapati hitungannya pada jumlah lompatan yang dia lakukan untuk menaklukkan genangan-genangan air itu, lantas ia berlari ringan, menyemburatkan rinaian halus air yang ia tapakki.

'Hn, hn, na na na'
Du di da di du du

Ia bersenandung bersama larinya, sesekali berjingkrak dan, hap. Ia kembali melompat lalu tertawa dalam hati. Terkikik geli karena tingkahnya sendiri. 'Senang'

Dia di sana, memperhatikan pemuda baby blue dengan tatapan yang--cukup sulit diartikan. Wajahnya menunjukkan sarat akan keheranan yang mendalam, tapi matanya menyiratkan kecemasan yang entah bertanda apa. Hujan memang bukan halangan baginya, toh dia sedang duduk nyaman di kursi mobil mewahnya. Tidak ada air hujan yang berani mengenainya, sang emperor merah manik dwi warna, dia hanya tertegun. Menatap sosok biru yang kini mulai mengecil ditelan jarak, dia bertanya-tanya pada apa yang dia lakukan. Pikirnya demikian,

'Dia, sungguh misterius.'

"Bagaimana dia akan kesekolah, dengan pakaian basah begitu."

gumam Akashi pada dirinya sendiri, niat hati ingin mengajaknya bergabung, namun segan. Lagipula, anak itu mengambil rute pejalan kaki, sedangkan dia harus melewati jalur kendaraan, yang artinya berlainan arah. Dipanggilpun takkan didengar, dia sudah jauh. Siluetnya sudah tak nampak.

Hujan,
Dia selalu datang tiba-tiba.
Meski bertanda, berhasil mengejutkan.
Pergipun dia semaunya,
Tak memberi tahu pada mereka yang menantinya.

Hujan,
Rintiknya begitu indah,
Bagai melodi yang mengalun sempurna.
Nyanyian menawan yang didengar setiap makhluk, meski membencinya.

Hujan,
Genanganmu mengenang dijiwa yang terendam.

"Apa ini? Puisi? Sajak? Atau syair?"

Pertanyaan itu menggantung di langit-langit koridor. Mading Teiko dipenuhi suara gaduh siswa yang riuh membincangkan berita terhangat hari ini.

"Puisi tentang hujan," begitu yang terdengar di satu gerombolan.

"Siapa yang membuatnya?" mereka masih asik sendiri dengan pembahasan yang sama.

"Ini sering terjadi bukan,?" salah satu dari mereka menambahi. "Sejak semester baru dimulai, sampai sekarang tidak ada yang tahu." ujarnya lagi.

Kita (Kau Dan Aku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang