Akashi Seijuro

178 22 7
                                    

Akashi Seijuro menghentak-hentakkan kedua kakinya dengan kesal.
Langkahnya menggema di sepanjang koridor. Terlihat anggun namun tegas. Indah serta berbahaya. Walaupun begitu, tak ada seorangpun yang tidak bisa melepaskan pandangannya dari sosok pemuda yang tengah bejalan cepat itu. Semua pasang mata seperti tersihir agar terpaku pada sosoknya. Jatuh dengan pesona dan karisma yang melekat pada seorang Akashi Seijuro. Seolah-olah dunia hanya melihat pada dirinya. Terdengar absolute, memang.

Sebaliknya, Akashi sama sekali tidak peduli. Ia tidak peduli pada berbagai macam pandangan yang ditujukan untuknya. Ia tidak peduli dengan keadaan sekitarnya. Dan ia tidak peduli dengan pikiran orang-orang yang menatap diriya. Tidak bisakah mereka melihat dengan jelas, ia sedang kesal! Benar-benar kesal sampai-sampai Akasi sendiri ingin membunuh setiap orang yang menatapnya dengan kekuatan "emperir eye" miliknya. Orang-orang yang terus menatapnya sepanjang jalan membuat kekesalannya semakin tinggi.

Akashi mendongak ketika menyadari langkah kakinya menuju kemana. Ah! Itu dia. Tempat tujuannya. Tempat yang paling terisolir di antara tempat-tempat lainnya. Tempat yang masuk ke daftar faforitnya setelah perpustakaan.

Ruang seni.

Ruang yang biasanya juga ada dia di sana. Ruang yang juga menjadi tempatnya bersinggah dari pelarian akan amarah membuncah. Hari ini memang hari sial menurutnya, berkali-kali dijejali berkas masalah yang tak ada habisnya. Tidak di rumah, tidak di sekolah. Menjadikan kemampuannya sebagai tempat bergantung. Semua sama saja. Menyebalkan.

Akashi mendorong pintu agar terbuka, kursi-kursi penonton tertata rapi. Kosong tak berpenghuni.

Piano putih berdiri kokoh di atas panggung, pun kursinya kosong tak ada orang mengisi.

'Dia tidak datang ya?'

Baiklah, Akashi sudah terlanjur kesal. Biar dia main sendiri saja. Biasanya sih ada dia yang sudah menunggu di sini, memainkan violinnya atau terkadang iseng menekan-nekan tuts piano tanpa jelas arah nadanya.

Seringkali Akashi terkekeh sendiri, geli melihat dahi yang biasa datar itu berkernyit lantaran tak mendapat nada yang diingin.

Ah! Rasanya Akashi jadi rindu, dan ingin pergi saja untuk mencari sosok itu. Kemana dia? Apa yang sedang ia lakukan? Apa dia sakit? Midorima memang pernah berkata jika sosok itu memang serapuh yang terlihat, Akashi jadi penasaran dimana dia tinggal?

"Kau bermain untuk siapa?"

Suara itu .....

Akashi sontak menolehkan kepalanya, memindai asal suara dan menemukan warna biru berdiri di bawah panggung. Matanya terus bergulir, mengikuti langkah kaki mungil yang menjejak tangga.

"Musikmu itu tidak berasa," dia berujar. Tangannya menyentuh tubuh piano putih sedang Akashi menatap matanya–menunggu suara itu kembali terdengar. "Kau seolah memainkannya hanya untuk dirimu sendiri. Terkesan kosong, dan mati. Kau sedang kesal?"

Binggo

Tepat sasaran. Akashi menyeringai, inginnya dia memberi tepukan tangan sebagai bentuk apresiasi, namun itu berarti dia menyetujui persepsi yang mengancam harga diri.

"Heh, aku belum apa-apa. Ini baru pemanasan." berkilah. Bersilat lidah Akashi ahlinya, jangan kira ia akan mengalah begitu saja. Ia mutlak dan benar. Begitu yang sering ia dengar dari orang lain. Ia sih setuju saja, toh terdengar cocok untuk dirinya.

"Benarkah?" nadanya monoton. Tangan pucat sudah beralih pada tas violin miliknya, dikeluarkannya hati-hati bagai memegang bayi dan menjunjungnya hingga menyampir disebatas bahu ia memejam mata. Menghela nafas perlahan dan mulai menggesek senar.

Akashi turut memejam mata, saat senar itu mengalun nada yang indah. Melompat girang membentuk melodi, sesaat hati menjadi tenang kembali.

Ah, Akashi selalu suka saat ini, sama seperti dulu, ketika 'dia' masih bersamanya, mengingatnya dan menggenggam tangannya. Hatinya menghangat, seiring nada yang berganti menyayat. Hatinya pun ikut tersayat. Akashi tahu, musiknya memang hebat. Selalu menghidupkan kisah tersemat.

"Kali ini apa?" Akashi menopang dagu pada selusur piano. Melempar tanya tepat setelah musiknya berhenti.

"Entahlah," jawabnya ragu. "Aku menemukan nada ini setelah melihat anak kecil yang berlarian riang kemuadian menangis karena jatuh– semasa kemari." langkah kakinya berjalan menuju kursi sebelah Akashi.

"Hooo, mengesankan." balas Akashi spontan. "Kau tak mengikuti kelas?" sekedar basa-basi? Entahlah. Seharusnya basa-basi bukan gaya seirang Akashi, tapi mungkin ini sebuah pengecualian.

"Tidak!" dia menjawab seadanya tanpa niat menutup-nutupi. "Ibu melarangku pergi belajar karena masih demam." katanya.

"Tapi kau kemari." tandas Akashi. "Ya, sekedar ingin."

"Kau cukup keras kepala." topangan dagu masih bertahan. Tatapnya mengunci manik biru di hadapan.

"Memang," dan jawaban yang cukup mengesankan.

"Mau bermain?" Akashi menawarkan. "Kuroko Tetsuya?!" sengaja memanggil namanya lengkap.

"Aku tidak berpiano. Aku memegang biola."
"Tak masalah, aku bisa menuntunmu." kepala biru mengangguk setuju, Akashi tersenyum simpul sebelum mulai melakukan tutornya.

°
°

Jika boleh aku berharap, aku ingin terus tenggelam pada kedalaman biru samudera yang selalu membuatku hidup.
°
°

Akashi merenung, menatapi kristal biru lazuardi dalam genggamannya. Perkataan ibu panti di telephone kemarin masih terngiang dalam benak ingatan yang sudah tajam dari sananya.–

"Dulu, saat Tetsuya mengejar mobilmu yang hendak kembali. Dia tak pernah lagi kembali. Hilang, entah kemana ia pergi. Sudah lelah kami mencari dan hanya lazuardi ini yang kami temui. Memang ada bercak darah di sela aspal, tapi hujan menghalangi kami untuk menyelidiki. Mungkin ia dibawa pergi, atau memang sudah pergi dan takkan pernah bisa kembali."

Nada suara ibu panti begitu lirih, getir terasa sampai ke hati Akashi tahu meski tak melihat sendiri raut sedih yang terpancar dalam wajah tua ibu panti.

"Tetsuya, sudah kembali ibu panti. Dia di sini, takkan lagi kubiarkan dia pergi."

*Mind to review??

(Gigit kuaci)

Kita (Kau Dan Aku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang