Hantu Ruang Seni

151 15 13
                                    

Tetsuya demam lagi. Kemarin sore atap rumahnya digelitik oleh rintik-rintik hujan yang seolah sedang menggodanya agar ikut keluar dan bermain. Melodynya terlalu indah untuk diabaikan, jadi dia tidak tahan membuka pintu, mengulurkan tangan, membiarkan bulir-bulir air suci dari langit itu membasahi tubuhnya yang rentan terhadap sakit.

Dasar lemah

Tetsuya tidak bisa untuk tidak menghina dirinya sendiri. Wajahnya yang sudah putih dan semakin memucat terpantul di cermin, seragam sudah lengkap ia kenakan. Hanya bagian dasi—Tetsuya masih merasa kesulitan mengikatnya— dia sengaja ikat serampangan.

Jam lima pagi tadi, Ibu sudah menguliahinya agar tidak beranjak dari tempat tidur sebelum pergi ke pasar. Tapi, dasar Tetsuya yang bebal. Mana mau ia dengar? Nekat pergi sekolah dengan demam pada diri. Entahlah bagaimana dia bisa keluar rumah, padahal Ibu sudah mengunci pintu untuk jaga-jaga atas tabiat anaknya yang suka ilang-ilangan. Tanpa tahu kalau Tetsuya pandai memanfaatkan postur tubuh kecilnya dan menyelinap keluar masuk lewat jendela.

Efisien sekali

Tetsuya tersenyum tipis seiring langkah kakinya Menapak tanah. Tas violin tergantung manis di punggungnya, bergerak-gerak seirama ketukan sepatu membawa tubuhnya lenyap termakan jarak.

Tahukah kau,
Apa yang istimewa dari hujan?
Mereka tetap akan kembali,
Meski tahu rasanya jatuh berkali-kali.

Emerald masih diam terpaku. Sebenarnya dia tidak ingin beralih tatap ke arah lain, penggalan sajak yang tertempel di majalah dinding itu terlalu menarik perhatiannya. Midorima tahu dirinya bukan penyair pun suka membaca syair-syair penuh kata indah. Tapi hatinya tidak bisa menyembunyikan rasa kagum ditambah penasaran pada diri 'penyair misterius'—begitulah anak-anak sekolah menyebutnya— untuk setiap puisi, sajak atau semacamnya yang dia tulis. Selalu ada gelanyar aneh. Midorima hanya bisa menghela napas lelah.

"Kau tahu sesuatu Akashi?"

Tersenyum, Akashi tidak perlu menoleh untuk menjawab, "kalau pun aku tidak tahu, dia akan menampilkan dirinya di hadapanku."

Baiklah Tuan Absolute, Midorima tidak tahu harus menangis atau tertawa. Kuasamu terlalu mengerikan, tidak akan berani Midorima untuk meragukanmu. Terlalu beresiko, semoga saja Jam dinding petuah oha asa ini bisa mencegah kesialannya. Midorima akan selalu berdo'a.

"Ngomong-ngomong, Akashi. Belakangan ini kau sering mengunjungi ruang seni. Apa ada hantu 'manis' di sana? Kudengar banyak rumor mengatakan kalau sering ada suara biola tanpa pemain."

"Oh, memang ada." Midorima merasa terkejut dan segera mengangkat bingkai kacamata untuk beralih ke ekspresi biasanya. Akashi berbalik menatap nyalang pada emerald berbingkai kaca. "Hantu yang sangat manis."

Senyum Akashi itu biasanya menandakan hal buruk. Semenawan atau setampan apa pun itu bentuknya, Midorima selalu berharap untuk tidak pernah sekali pun melihatnya. Jadi, bolehkah dia lari sekarang?

"Kau boleh lakukan apa pun yang kau inginkan, Shintaro."

Oh bagus, seharusnya keluarga Akashi itu beralih profesi sebagai cenayang atau dukun yang selalu berhubungan dengan makhluk halus saja. Bahkan pikiran pun bisa ia dengar, Midorima tidak bisa penasaran untuk seberapa tajam telinga Akashi itu. Apa keluarganya akan musnah jika dia meminta ayahnya melakukan uji coba? Oh, seandainya Midorima akan berani.

Akashi terus berjalan, rambut merahnya nyalang bergerak lembut seirama desir angin mengenainya. Insting mengatakan padanya untuk segera berangkat menuju tempat persembunyian 'hantu manis' dan ia terlalu malas untuk berurusan dengan pikiran-pikiran konyol temannya.

Selangkah demi selangkah ia tapaki dengan mantap, elegan dan penuh wibawa, lagipula siapa yang tidak tahu jika makhluk satu ini memang sudah keluar dengan segala kemegahannya. Seolah dia bukanlah lagi milik dunia fana. Tatapan kagum yang terarah sedikitpun dia tak hirau, karena fokus dan tujuannya akan selalu menjadi satu. Luas warna biru langit.

Tetsuya tidak tahu, jika nekat datang ke sekolah dalam keadaan demam itu cukup merepotkan. Selepas dari nafasnya yang terengah, matanya juga jadi sedikit buram. Tahu, jika dirinya hanya akan diabaikan atau paling buruk justru menakuti orang lain untuk sekedar meminta sedikit perawatan, Tetsuya memilih untuk pergi ke tempat keramat. Tempatnya biasa menghabiskan waktu atau mungkin sekarang bisa ia sebut sebagai tempat untuk menenangkan diri dari perasaan tidak enak dari tubuhnya. 

Jadi, Tetsuya sama sekali tidak menyadari jika sudah ada sosok lain di dekatnya. Menatapnya penuh perhatian, serta mengerutkan kening saat melihat tetes keringat berlebihan di keningnya.

"Kau, sedang apa?"

Tersentak. Tetsuya tidak bisa untuk tidak segera memutar tubuhnya pada suara itu berasal dan menemui warna merah dikenal. Sungguh, dia sangat buruk dalam senyum. Terlihat kaku dan canggung dalam wajahnya saat dia mencoba untuk tersenyum, namun entah kenapa tetap terasa manis. Apa mungkin karena dia membawanya dari kedalaman hati?

"Klise saja, sekadar membunuh waktu. kurasa," biru menatap merah tepat di mata.

"Dan, membolos barang kali?" 

Seharusnya, suasana hening ini tidak akan terjadi, jika keduanya adalah orang yang mudah mengungkapkan isi hati mereka. Umumnya, akan da tawa meski tidak terbahak karena keduanya memiliki selera humor yang sama.

 Nyatanya, keadaan tidak selalu sesuai dengan apa yang seharusnya. Karena keduanya juga sama. Sama-sama keras kepala untuk selalu menjunjung tinggi soal etika.

" Orang sakit sepertimu harusnya diam di rumah. Bukan duduk termenung di bawah gradasi tuts piano."

Akashi ikut duduk di samping Tetsuya yang tangannya sibuk memilin senar biola. Menengok wajah putih sedikit kemerahan karena panas dari demam. Dia mengulur punggung tangan untuk diletakkan di atasnya dan sedikit menyipit setelah mengukur.

38 derajat. Jika orang biasa akan merasa lemah bahkan untuk menggerakkan satu jari. Anak ini, apa yang membuatnya kuat untuk bangkit dari ranjang dan melangkah jauh kemari. Dan sekarang, Akashi merasa jika dirinya sedikit kesal.

"Ayo ikut aku."

Tetsuya menatap tangan yang terulur di sepan matanya. Bingung, antara mau menerima atau tidak. Nada yang dia dengar terlalu memerintah, Tetsuya penasaran. Apa yang membuatnya marah? rasanya dia tidak melakukan apapun yang sekiranya bisa membuat orang lain merasa buruk.

"Kemana?"

"Ikut saja,"

*nah ... sudahlah, aku tak punya sesuatu untuk dikatakan.

(makan kuaci)

Kita (Kau Dan Aku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang