Genangan kenangan

220 30 5
                                    

°°°°

Sepasang kaki kecil itu terus bergerak, lari terbirit-birit entah sedang mengejar atau dikejar. Surai birunya bergerak-gerak, sejalan dengan langkah kakinya yang terburu-buru. kulit putih pucatnya berkali-kali tergores, beradu gesek dengan semak belukar yang dilaluinya. Meninggalkan guratan-guratan luka yang terasa perih, telanjang kakinya pun sudah kotor terkena lumpur karena hujan memang sedang turun, cairan merah juga ikut menghiasi, ulah hiasan-hiasan alam yang sesekali membuatnya tergelincir. Sakit dan penat sudah membayangi tubuhnya--tidak peduli-- ia hanya ingin terus berlari agar cepat sampai.

Sssrrrrrrkkkkk .....

Suara gesekan ban mobil berderit ngilu, membuat seluruh penumpang didalam berteriak panik karena terguncang.

Bocah surai merah yang kini menginjak usia 5 tahun itu terbelalak kaget, mendapati surai biru berdiri merentangkan tangan diluar sana. Berdiri dengan nafas lelah, wajah pucat terguyur hujan, menatap sendu kedalam mobil.

"Ambil ini," kata si surai biru meletakkan kristal kecil sewarna matanya pada tangan surai merah. "Bawa, dan berjanjilah kau takkan lupa." surai merah mengangguk, ia menatap kristal lainnya ditangan si biru. Dan itu, merah?? "Ah, ini untukku. Agar tak lupa padamu." merah mengangguk kemudian tersenyum sebelum kembali kedalam mobil dan menghilang seiring dengan tajamnya persimpangan jalan, meninggalkan surai biru sendirian.

Ngiiiiiiiing, ...... Braaaakkkkkk
°

°
'Bolehkah aku berharap, agar kau tak melupakanku, ....

°

°


Tsuyu mulai berakhir, hujan perlahan berhenti menghampiri musim, meski terkadang masih tak segan untuk berkunjung. Langit awal musim panas membiru indah, terang bersih tak berawan. Menyisakan warna biru, persis kristal yang tengah ia perhatikan. Kristal itu ia gantungkan disebuah tali, menyerupai gantungan kunci. Sengaja dia buat begitu agar mudah disimpan, disana juga tertulis sebuah nama, nama seseorang yang sangat ia rindukan—

"Apa kau sudah melupakanku?" surai merahnya terbang lembut, bergerak teratur sesuai terpaan angin musim panas yang memaksa masuk melewati celah jendela disampingnya. Tidak bosan dia menatapi benda biru ditangannya, hawa panas mencapai 35°C yang menyelimuti Tokyo, tak mengganggunya sama sekali.

—Kuroko Tetsuya.

"Akashi? Semua sudah menunggu untuk latihanmu," suara panggilan itu terdengar, seiring dengan warna hijau yang kian mendekat, wajahnya serius seperti biasa dan, jangan lupakan benda-benda konyol yang selalu ia bawa dengan dalih keberuntungan. "Apa dia tidak datang lagi?"

Helai hijau itu terkena terpaan angin musim panas, tangannya sesekali mendorong mundur bingkai kacamatanya yang entah untuk apa, ia hanya terbiasa. "Maksudmu, Kuroko?" surai merah diam, hanya menatapnya saja sudah menjadi jawaban yang cukup, dia mutlak, absolute, dia tahu segalanya, yang tadi hanya monolog saja, bukan pertanyaan. Begitulah seorang Akashi Seijuro.

"Kurasa dia sakit," Akashi berkernyit, menantikan kalimat selanjutnya dari surai hijau bagai lumut itu.

"Tubuhnya memang ringkih, lupa mengeringkan rambut usai mandi saja sudah demam." si hijau kembali menarik kacamatanya, sedangkan Akashi menjawabnya dengan tatapan bertanya, 'sungguh? Seminggu yang lalu melihatnya bermain ditengah hujan.'

Kita (Kau Dan Aku)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang