Tetsuya selalu menganggap jika kehadiran dirinya sudah cukup aneh dengan caranya sendiri. Tapi dia tidak mengira jika akan bertemu orang lain yang lebih aneh dari dirinya.
Umumnya, orang akan membawa yang dianggapnya sakit untuk pergi ke paramedis atau rumah sakit. Paling tidak ya ruang kesehatan sekolah—karena sekarang mereka ada di sekolah— siapa kira jika makhluk merah itu justru akan membawanya menuju atap sekolah dari ruang seni.
Tetsuya menghela napas sambil kepalanya digelengkan. Rambut birunya bergerak seirama, meski sebagian menetap karena menempel di dahi ulah keringat yang keluar deras.
"Apa? Kau mau kugendong belakang atau depan?"
Tetsuya sungguh tidak habis pikir. Dan sungguh, dia memang lemah. Tapi dia juga laki-laki. Dan lelaki punya harga diri tinggi, maka ia akan merasa sangsi saat Akashi menawarinya punggung saat dirasanya Tetsuya tidak kuat lagi menaiki sisa tangga.
"Kau baik sekali, Akashi kun. Tapi tidak, terima kasih."
Tetsuya tahu bahwa menolak kebaikan orang lain itu bukan tindakan yang baik. Apalagi jika kebaikan itu tulus diberikan kepadanya, terlebih lagi jika orang itu mengerut alis setelah mendengar penolakannya. Tapi mau bagaimana? Tetsuya terlalu malu jika membiarkan beban tubuhnya sampai dibawa orang lain.
Akashi maklum, dia tidak akan memaksa. Hanya memperlambat langkah untuk berjalan di sisi Tetsuya sambil sesekali melirik ke arahnya. Tetsuya tahu, tapi dia akan berpura-pura tidak melihat. Tatapan heterokrom itu terlalu menyelidik. Dia tidak akan mau membuang dirinya untuk di teliti hingga ke dalam-dalamnya.
Sampai di atap, mereka duduk bersandar di depan kawat pembatas. Cuacanya tidak cerah juga tidak mendung, membuat mereka berani duduk dimanapun mereka suka.
Tetsuya memejamkan mata saat Akashi masih mengamatinya. Napasnya sepotong-sepotong. Mungkin demamnya berulah lagi.
"Kita sudah di atap sekarang Akashi kun," Tetsuya tidak membuka mata ataupun menoleh. Dia bertanya, "sekarang kita mau apa?"
Tidak salah bukan, jika Tetsuya merasa penasaran? Keadaannya saat ini agak istimewa dan dia tidak tahan untuk tidak bertanya.
"Menghabiskan waktu, kurasa."
Tetsuya menoleh menghadap Akashi, wajahnya dipenuhi semburat keraguan.
"Ayolah Tetsuya, apa yang salah?" tersenyum, Akashi berkata dengan suara menggoda. "Baiklah, kau demam. Terbaring dengan selimut menutupi seluruh tubuhmu, aku yakin kau akan merasa bosan. Jadi aku menawarimu alternatif lain."
Tetsuya masih mengawasi wajah Akashi saat anak lelaki itu terus bicara.
"Berjalan menaiki tangga akan membuat tubuhmu mengalami pemanasan, saat itu panas akan dipaksa untuk keluar dan membuatmu banyak berkeringat. Memang agaknya beresiko kau kehilangan cairan tubuh, tapi tenang saja. Aku sudah tahu sejauh mana tubuhmu bisa bertahan."
Sungguh, Tetsuya sama sekali tidak mengerti. Dia bahkan tidak tahu orang di depannya ini mendapat teori tersebut dari mana, tapi ada sesuatu yang membuat dadanya terasa tidak nyaman. Perasaan ini ... Rasanya dia pernah mengalaminya.
Seperti deja'vu.
Tetsuya mengerut kening, matanya meski sebentar menyipit sebelum kemudian tersenyum. Tingkah kecil itu tentu saja tidak lantas terlewat oleh mata tajam Akashi, dia menatapnya serius.
"Ada yang ingin kau katakan?"
Tetsuya menggeleng. Dia tersenyum tipis, iris birunya menatap lembut saat dia perlahan menjawab."Hanya saja, aku merasa aneh. Seperti ini pernah terjadi sebelumnya."
KAMU SEDANG MEMBACA
Kita (Kau Dan Aku)
FanfictionSatu-satunya hal yang tak bisa aku lihat adalah diriku sendiri. Bagaimana? Benar bukan? Selama tidak ada cermin, genangan air atau apapun yang bisa memunculkan dirimu maka kau takkan terlihat. Bagaimana jika itu KITA?? Iya, kau dan aku.