Pecahan

29 0 2
                                    

#Cecilia

Tau nggak apa konsep dasar kalau mau belajar pecahan? Bagian yang sama. Sederhana banget. Gampang. Meskipun pas SD gue nggak belajar sedetail ini, gue bisalah ngikutin dengan baik. Apalagi dari tadi juga peserta simulasinya pakai media yang nggak ngebosenin. Lumayan, nggak bikin gue pingin pulang sesegera mungkin.

Gue juga cukup confident pas diuji sama Mister Oh di awal sesi. Dia nunjukin gambar persegi, trus nyuruh peserta ngebagi bangun datar itu jadi 2, 3 dan 4 bagian. Easy.

Next, persegi dibagi jadi 4 bagian sama besar. 1 bagiannya diaksir. Sampai bagian ini, suasana masih aman terkendali. Instruksi Mister Oh adalah membagi bagian yang nggak diaksir jadi 4. Ruangan mendadak sunyi.

Nah, lo....

Hampir 2 menit, gue cuma mandangin kertas yang tergeletak. Gue bukannya nggak nyoba buat nemuin jawabannya, tapi ya, ini susah banget. Gue googling juga bingung mau pakai kata kunci yang kayak gimana.

Stak. Gue nyerah. Mister Ketut juga kayaknya belum dapat pencerahan. Padahal dia satu-satunya harapan. Nggak mungkin juga gue sok akrab ke guru dari sekolah lain trus nanyain jawabannya. Bisa jatuh reputasi aunty.

Sementara itu, Mister Oh dari tadi masih keliling ke meja-meja peserta. Sesekali dia kelihatan mampir trus ngobrol akrab sama peserta. Ah, kalau sampai dia ngedeketin tempat ini trus ngeliat gue gagal, malu dong.

"Memungkinkan nggak sih dibagi 4?" Gue nekat gangguin Mister Ketut yang lagi serius. Dia sepertinya sudah mengerahkan semua kemampuan dan pengalaman yang dia punya selama ngajar, tapi hasilnya masih nol.

"Memang ada kemungkinan kalau Mister Oh ngerjain kita?"

Gue geleng-geleng, mulai frustrasi. Ya, nggak mungkinlah kalau sosok penuh wibawa itu tega mempermainkan sekian puluh kepala di sini. Trus, gimana dong?

Somebody please tell me what to do!

***

#Teacher Oh

Beberapa kali saya melakukan pelatihan sejenis, bagian ini selalu menjadi yang tersulit. Dahi-dahi berkerut, telunjuk dan jempol mulai bekerja sama memijit pelipis. Lembar HVS yang awalnya bersih kini penuh coretan di kedua sisi. Saya suka. Mereka berpikir.

"Saya beri tambahan waktu. 5 minutes, enough?"

Ruangan masih sunyi. Saya kira mereka akan serentak menjawab cukup atau tidak, tapi rupanya mereka lebih memilih untuk meneliti gambar yang mereka buat untuk dibagi menjadi 4 bagian sama panjang. Bagus juga karena ini bukti bahwa mereka fokus pada apa yang dikerjakan.

Saya kembali berkeliling, memperhatikan satu per satu meja yang saya lewati di ballroom hotel. Sesekali saya melontarkan pertanyaan basa-basi, pura-pura menawarkan bantuan sekaligus menguji kesungguhan mereka. Seorang guru dengan batik biru, yang bisa dipastikan usianya di atas saya, meletakkan pensil kemudian bersandar pasrah pada kursi.

"Tidak ingin mencoba lagi, Bu?"

Ibu itu menggeleng sambil tersenyum.

Saya balik tersenyum, lalu pindah ke meja di sebelahnya. Setengah dari kelompok ini adalah guru-guru muda yang masih suka tantangan. Mereka masih belum menyerah, dan saya harap, semoga mereka tidak pernah menyerah.

Berpindah ke meja berikutnya, perhatian saya tertuju pada seorang gadis yang sesekali nampak memperhatikan kertas milik rekan di sebelahnya. Dia tidak sedang menyontek karena saya sempat menginstruksikan bahwa mereka bisa bekerja sama, mendiskusikan cara untuk menyelesaikan soal ini. Ini bukan ujian individu. Lagipula saat kembali ke sekolah nanti, mereka harus terbiasa sharing untuk memaksimalkan pengajaran di kelas. Bukankah itu tujuan adanya komunitas guru?

Semakin saya dekat, semakin ia terlihat panik dan fokus pada pekerjaan guru di sebelahnya.

"Sudah menemukan caranya?" tanya saya, tidak hanya pada gadis itu, tapi juga pada peserta di sebelahnya. Mendengar itu, si gadis terlihat semakin tidak tenang. Saya harus mencari cara agar proses diskusi ini tetap bersahabat untuknya. Satu lagi prinsip dasar dalam membuat kelas kondusif adalah membuat peserta nyaman.

Saya membaca name tag yang tersemat di bagian kanan dada peserta. Ketut. "Bagaimana, Mister Ketut? Ada petunjuk?"

"Masih dicoba, Mister," balasnya dengan tepat.

Jawaban semacam itu membuat saya puas karena artinya meskipun ia belum berhasil, ia masih ingin berusaha. "Good. Go on! Dan Anda, Miss, santai saja. Rekan Anda pasti akan membantu."

Gadis itu akhirnya berani mengangkat wajah. Terlihat dipaksakan memang, tapi senyumnya cukup membuat saya lega. "Do the best you can do."

"Thank you, Mister," responnya dengan suara yang terdengar lebih tenang.

"My pleasure, Miss...."

"Cecilia," sergahnya cepat saat saya berusaha menemukan tanda pengenalnya.

Cecilia? Saya meneliti gadis ini, diam-diam tentunya karena tidak ingin dianggap kurang sopan. Namanya mengingatkan saya pada seseorang. Kalau yang ada di pikiran saya benar, maka saya sedang bertemu dengan orang yang tepat.

"Mister, saya tahu caranya."

Suara keras dari barisan terdepan membuat saya harus mengalihkan perhatian sejenak. Seseorang menemukan jawaban, saya harus segera mengeceknya.

Dalam hati, saya terus menyebutkan nama gadis tadi. Cecilia, Cecilia. Nama itu masih saya ingat sampai sekarang. Ada keyakinan dalam diri saya bahwa gadis di ruangan ini dengan yang sedang saya pikirkan adalah orang yang sama. Saya tersenyum kecil.

Cecilia, kamu sudah bukan gadis kecil lagi sekarang.

Teacher OhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang