1/3

60 3 0
                                    

Cerita ini dibuat tanggal 20 Mei 2012, ditujukan untuk menyelesaikan tugas Bahasa Indonesia. Karena kami waktu itu niat banget, jadinya begini deh hahahah.

Setting dibuat di gereja bukan karena memihak salah satu agama tertentu, tapi ya... karena MV si anu bikinnya juga di gereja. Jadi ya yang dipake ya gereja. Gitu. 

Dibaca nggak dibaca, semoga yang udah mampir suka. /jampijampi/

***


Tahukah kau yang kurasa?

Pedulikah kau akan perasaanku?

Kerasnya usahaku, hanya untuk memalingkan wajahmu darinya...

Untuk memenangkan senyummu...


Aku tahu kau bukan milikku,

Juga tak akan pernah menjadi milikku...

Tapi kenapa hatiku tak kunjung menyerah menantimu?

Kenapa aku tetap bertahan, walau yang kudapat hanya rasa sakit dan pedih?


Inikah cinta? Perasaan yang membuat mereka kecanduan...

Meski mereka lebih banyak menangis daripada tertawa?


Sudah lelah hatiku, menantimu dalam kekosongan dan kesia-siaan...

Juga topeng senyum yang kupakai saat kulihat dirimu dan dia...


Tapi entah mengapa...

Aku tetap berharap kau akan menjatuhkan secercah harapan...

Untukku...

Walau hanya sebuah...


***

Malam hari, saat di mana aku bisa bersantai setelah seharian bekerja sebagai pianis gereja. Aku menyukai pekerjaan ini, karena selain membawakan lagu-lagu rohani, aku bisa melihat banyak tawa dan senyum dua insan yang akan membuka pintu gerbang yang baru, gerbang pernikahan yang suci, dengan mengikrarkan janji setianya di depan Tuhan.

Saat akan beristirahat setelah seharian melayani di Gereja, terdengar suara ketukan pintu. Siapa itu? Di jam segini?

"Ya, sebentar." Teriakku akhirnya sambil membuka pintu.

Setelah pintu terbuka, terlihat sesosok perempuan yang amat kukenal. Dia...

"Hai." Katanya agak canggung.

"Nia? Ada apa?" aku berusaha menahan rasa kagetku. Dia seharusnya sedang bersama dengan pacarnya, Vick.

"Uhm... boleh masuk?"

"Ohh, iya. Silakan." Sambil mempersilakannya masuk, aku memperhatikan wajahnya. Ya, Nia memang cantik. Tapi ada hal yang berbeda dari dirinya malam ini. Matanya sembab.

Setelah mempersilakannya duduk dan minum, aku menunggu kata-kata yang keluar dari mulutnya.

"Sebenarnya..." katanya sambil menundukkan kepala dan dengan suara yang bergetar. Aku menunggu kata-kata selanjutnya yang akan keluar dari bibir kecilnya. Sebenarnya aku sudah tahu, untuk apa dia ke sini.

"Bertengkar 'lagi', ya?" kataku berhati-hati dengan pandangan seolah sedang menebak-nebak. Ya, Nia dan Vick memang sering sekali bertengkar mulut, dan setiap kali bertengkar, Nia pasti akan ke rumahku, menceritakan semuanya dan meminta saran dariku. Lalu biasanya aku akan menemukan cara untuk menghiburnya.

"... Iya." Katanya singkat sambil mengangguk dan menahan air mata yang sebentar lagi akan keluar dari pelupuk matanya.

"Hmm... udah, jangan dipikirin. Udah makan kan?" kataku berusaha mengalihkan kesedihannya. Dia mengangguk.

Aku benci saat dia bersedih, apalagi saat dia menangis. Aku benci orang yang membuatnya berantakan seperti saat ini. Tapi entah kenapa, ada satu rasa senang yang rahasia di hatiku, setiap kali Nia bercerita kalau ia bertengkar lagi dengan kekasihnya. Tapi, dia tidak tahu itu. Iya, aku memang menyukainya. Lebih daripada Vick, kekasihnya sekarang.

Tapi, aku tak akan pernah bisa mengungkapkannya, tak akan pernah bisa memberitahunya, seberapa besar rasa sayang yang sudah lama kusimpan hanya untuknya. Sebab, aku tak mau karena perasaan egois ini, hubungan persahabatanku dan Nia menjadi pecah berantakan hanya karena dia merasa sungkan padaku. Walaupun jauh di dalam lubuk hatiku, aku menginginkannya. Menginginkan dia hanya jadi milikku.

"Ah, sebentar... tunggu di sini ya." Kataku sambil mengambil sesuatu di kamarku.

"Wahh, iPhone model terbaru! Lo baru beli?" katanya setelah melihatku mengambilkan gadget yang baru kubeli karena dia terlihat sangat menginginkannya saat berjalan bertiga di sebuah Mall. Ya, bertiga. Aku, Nia, dan Vick.

"Yup! Bagus kan? Di sini ada fitur bagus loh, favorit gue nih..." kataku sambil memperlihatkan nya fitur iPhone yang bisa berfungsi sebagai alat musik favoritku, piano.

Ting... Ting... Ting. Suara dentingan piano memenuhi ruang tamuku. Alunan asal yang Nia mainkan, menenangkan hatiku. Andai waktu ini dapat berhenti, aku ingin dia menjadi milikku. Hanya milikku. Tidak ada Vick. Tapi, itu hanya mimpi yang kurasa tak akan pernah terwujud. Ilusi yang tak pernah menjadi nyata.

"Hei, ternyata kamu di sini." Satu suara memecah alunan piano yang dimainkan oleh Nia. Matanya tiba-tiba bersinar, wajahnya merona.

"Vick..." katanya tercengang, tapi dengan sorot wajah yang amat senang. Bagiku, ini seperti kembali ke kenyataan, terbangun dari mimpi indah. Hatiku seketika tertusuk. Kenapa dia harus datang sekarang? Tak bisakah dia memberiku waktu setidaknya beberapa menit lagi?

"Aku datang jemput kamu. Aku minta maaf atas yang tadi. Kamu udah nggak marah, 'kan?" Vick menghampiriku dan Nia, lalu membelai rambut Nia dengan lembut. Sejenak, ada rasa muak dalam hatiku. Aku tahu itu apa. Cemburu.

"... Iya, tapi kamu jangan ulangin lagi ya perbuatan kamu?" Nia melihat Vick dengan tatapan hangat, tatapan yang hanya menjadi milik Vick seorang, tak pernah milikku.

"Hahaha, baguslah kalau kalian udah baikan lagi. Lo pulang aja, udah malem. Minta Vick anter yah?" kataku memotong pembicaraan mereka berdua. Aku tidak suka melihat mereka berdua bersama dengan mataku sendiri. Sakit. Hatiku sakit.

"Iya. Makasih ya, Ron." Nia mengangguk.

"Lo emang sohib gue yang paling oke deh buat ngehibur Nia. Thanks yah Ron, udah selalu ngejagain cewek gue." Hatiku seakan pecah berantakan mendengar kata-katanya. Tapi apa yang bisa kulakukan? Vick 'kan memang cowoknya Nia?

"Oke." Kataku sambil berusaha tersenyum. Vick memang sahabatku, sekaligus orang yang mengambil satu-satunya perempuan yang pernah aku sayang. Benar-benar sayang.

Saat Vick mengantarnya pulang, aku merenungkan kejadian tadi, yang sudah berulang-ulang terjadi.

Kenapa? Kenapa aku begitu bodoh? Menyukai seseorang yang bukan dan tidak akan pernah menjadi milikku? Mengapa aku tetap membuka tanganku akan panggilannya yang semu?

Mengapa aku hanya bisa pasrah, menerima segala rasa sakit ini? Tidak bisakah aku berontak? Mataku perih, hatiku pedih... karena airmata yang mengalir setiap kali aku merenungkan, kenapa dia tak pernah memilih aku...

Gaun Pengantin (Song Tribute)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang