Pagi hari, saat matahari bergegas menampakkan sinarnya menggantikan tugas sang dewi malam, aku terjaga setelah merasakan udara pagi yang dingin menusuk diriku, setelah semalaman memikirkan jawaban dari berbagai pertanyaan yang membuat aku terlihat menyedihkan. Ya, memang bukan mauku untuk memikirkan hal-hal itu, tapi mau bagaimana lagi? Pertanyaan-pertanyaan itu terlintas begitu saja ketika kejadian semalam terulang di benakku.
Mereka sudah berpacaran lumayan lama, dan sudah selama itu jugalah aku menunggu Nia. Aku tak tahu mengapa aku tak pernah lelah menunggunya, mungkin karena aku cinta padanya? Entah.
Aku pun segera mandi dan berpakaian, lalu memutuskan untuk menikmati udara pagi di taman kota. Siapa tahu perasaanku akan lebih baik jika aku ke sana. Dengan mengendarai Land Rover kesayanganku, aku bergegas menuju taman kota.
Udara taman kota yang saat itu masih sepi sangat sejuk, dengan pepohonan hijau yang asri, walaupun beberapa sudah dipangkas untuk kebutuhan mendirikan taman bermain anak-anak sederhana. Aku pun naik ke atas atap mobilku dan duduk di sana agar bisa menikmati udara pagi yang segar, yang memang sudah menjadi kebiasaanku jika aku ke taman kota ini.
Sambil sesekali menyapu pandanganku ke seluruh isi taman kota, aku menikmati udara sejuk sambil menyaksikan mentari pagi yang naik perlahan menuju tahtanya. Memang, aktivitas yang melibatkan alam sangat efektif untuk menentramkan hati yang sedang gelisah.
Untuk menyempurnakan pemandangan dan segala keindahannya, aku berniat membuat kopi hangat dengan kopi instan dan air panas dari termos yang kubawa dari rumah.
Selagi aku menikmati kopi yang baru saja kubuat itu, ingatanku membawaku kembali ke masa itu, masa-masa bagaimana kami bertiga menjadi sahabat. Dulu, kami bertiga sering sekali minum kopi bersama-sama di atas atap mobil, sambil melihat pemandangan pagi, seperti apa yang kulakukan saat ini. Aku teringat bagaimana bahagianya aku hari itu, melihat dua sahabatku tertawa. Saat itu, mereka belum berpacaran. Andaikan aku bisa kembali ke masa itu dan memperbaiki kesalahanku, mungkin sekarang akulah yang akan berdiri di samping Nia sekarang. Bukan Vick.
Aku memang bukan orang yang bisa dengan mudahnya mengumbar perasaan seperti layaknya Vick. Dia orang yang pintar bicara, wajahnya pun tidak jelek, tak heran jika dia dijuluki 'playboy kelas kakap' saat kami bertiga masih SMA. Karena itu, saat Vick mengutarakan perasaannya pada Nia lebih dulu daripada aku, aku sudah mengetahui kalau akhirnya jadi begini.
"Wah, ternyata lo di sini juga? Indah ya, pemandangannya..." satu suara mengagetkanku. Nia.
"Eh? Ah... iya. Lo ngapain di sini?" Jawabku agak terbata-bata karena berusaha menelan rasa terkejutku. Tapi rasa terkejut itu berubah menjadi rasa sedih yang terpancar dari sinar mataku. Sedih karena mengingat kejadian semalam yang mungkin sudah terjadi ratusan kali itu. Tapi dengan cepat aku mengubah sinar mataku, karena aku tak ingin terlihat bersedih di depannya. Aku tak mau dia mengkhawatirkanku karena hal sepele berupa perasaan bodohku ini padanya.
Tanpa kusadari, dia ikut naik ke atas atap mobil lalu duduk dan membuat kopi instan untuk satu orang lagi.
"Boleh gabung, 'kan? Nggak bagi-bagi pemandangan bagus sama sahabat sendiri itu curang, loh!" Nia mencibir sambil terus melanjutkan kegiatannya. Sepertinya pertanyaannya barusan hanya formalitas, karena apapun yang kujawab dia akan tetap duduk di sana sambil meminum kopinya yang baru saja dibuatnya itu.
"Iyaaa. Tapi lo kenapa di sini?"
"Kalau lagi bosen tiap pagi gue emang ke sini kok. Nggak boleh?"
"Boleh, kok. Siapa bilang nggak?" aku menjawab sambil tersenyum jahil. Aku selalu menyukai setiap kecil percakapanku dengannya. Tidak membosankan dan menyenangkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gaun Pengantin (Song Tribute)
DragosteTerinspirasi dari lagu salah satu personil Big Bang, Tae Yang, berjudul Wedding Dress. Cover Art credits goes to Disney Wedding Boutique. All rights reserved. - Tahukah kau yang kurasa? Pedulikah kau akan perasaanku? Kerasnya usahaku, hanya untuk me...