Aku terjaga hingga larut malam, sama sekali tak bisa kupejamkan mataku mengingat kejadian tadi siang. Tidak cukupkah Vick melukaiku sebegitu dalamnya, walau ia adalah sahabatku yang paling dekat? Ya, mungkin memang salahku karena tak berani menyatakan perasaanku saat itu, tapi saat itu... dia tahu aku menyukai Nia. Vick tahu.
Lalu kenapa ia mengorbankan persahabatan ini demi perempuan? Aku selalu berharap kalau hubungan mereka akan berakhir secepatnya, karena aku tahu, akulah yang paling menyayangi Nia, melebihi Vick dan siapapun. Kenapa aku tak pernah bisa memilikinya? Aku ingin menjaganya, sebagai seorang kekasih dan pendamping hidupnya, sampai maut memisahkan aku dan dia.
Tapi aku sadar kalau aku tak mungkin bisa menggantikan posisi Vick di hati Nia. Sinar mata Nia saat berhadapan dengan Vick sangat berbeda dengan sinar matanya saat aku berada di sisinya. Nia hanya menganggapku... sebagai orang yang selalu ada untuknya, sebagai sahabat yang baik. Walaupun mereka berdua sering bertengkar, Nia sering menangis dan Vick sering meneriakinya, Nia mencintainya. Karena itu, meskipun aku berharap mereka tak akan bahagia, itu percuma. Tak ada celah untukku. Sama sekali.
Aku pun sadar, kalau suatu saat nanti, hari ini pasti akan datang, walaupun aku terus berdoa setiap malam agar hari ini tak kunjung tiba. Pada akhirnya, penantian panjang yang seolah tak berujung ini, akhirnya memiliki garis akhir, dimana aku harus mengerti posisi diriku sebagai 'orang ketiga' dan harus menjauh dari kehidupan mereka berdua, untuk kebaikan kami bertiga.
***
Hari itu pun tiba. Hari dimana mereka akan bersatu dalam sebuah ikatan yang berdasarkan kesetiaan dan kejujuran, sampai maut memisahkan mereka berdua.
Walaupun aku menutup mataku dan bermimpi tiada akhir, aku harus bangun. Aku harus menghadapi kenyataan ini, walaupun sangat pahit dan menyakitkan. Walaupun aku harus menangis setelah melihat resepsi mereka berdua di gerejaku. Apalagi, akulah tamu istimewa mereka sekaligus pemain piano pengiring mereka berdua. Benar-benar beban yang berat.
Setelah bersiap-siap, kulangkahkan kakiku dengan gontai menuju gereja yang jaraknya hanya beberapa meter dari rumahku. Ya, aku masih tak percaya akan kenyataan ini. Kenyataan kalau aku akan melantunkan nada-nada dengan pianoku, pada mereka berdua. Sahabatku, dan orang yang paling aku sayang.
Dengan menggenggam sepatah permohonan, permohonan untuk merelakan Nia tanpa menangis, aku menuju ke katedral, tempat di mana resepsi pernikahan Nia dan Vick akan berlangsung. Tak ada lagi yang bisa kulakukan setelah ini, kecuali berharap akan kebahagiaannya.
Setelah melihat-lihat dan mencoba alat musik yang nanti akan kumainkan, piano, aku mencari keberadaan kedua mempelai itu di ruang yang terletak di belakang gereja.
Saat sedang mencari, Vick memanggilku masuk ke dalam untuk melihat pakaiannya dan Nia.
"Gimana? Bagus nggak?" Vick membuka percakapan saat aku melihat Nia dan dia berdiri berdampingan, dikelilingi teman-teman kuliah dan SMA-nya.
"Hm? Eh... iya, cocok kok. Kalian cocok." Kataku sambil merepetisi kalimat yang ada karena kehabisan kata-kata. Nia sangat cantik dibalut gaun putih pernikahannya dengan motif kesukaannya yang dijahit dengan rapi, dan seakan belum lengkap, cadar putih melengkapi kecantikannya. Tapi yang berdiri di sebelahnya... bukan aku.
TENG!! TENG!! TENGG!!!
Bunyi bel gereja mengagetkanku. Sudah waktunya, ya? Dimana segalanya akan berakhir. Walau pedih, aku tetap harus menjalaninya.
"Yuk, 'calon' istriku. Hehehe..." Vick mengambil tangan Nia, menciumnya dengan lembut, dan mengedipkan matanya sambil setengah merayu.
"Ihh... kamu tuh ada-ada aja deh!" teriaknya dengan wajah terbakar rasa malu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gaun Pengantin (Song Tribute)
RomanceTerinspirasi dari lagu salah satu personil Big Bang, Tae Yang, berjudul Wedding Dress. Cover Art credits goes to Disney Wedding Boutique. All rights reserved. - Tahukah kau yang kurasa? Pedulikah kau akan perasaanku? Kerasnya usahaku, hanya untuk me...