Perempuan ditepi Muara

758 18 2
                                    

Angin berhembus agak kencang menerbangkan beberapa sisa pelepah kelapa yang mengering. Debu-debu pasir beterbangan. Sisa peristiwa badai masih terasa. Marni melangkahkan kakinya menuju pantai. Anak-anak rambutnya melambai-lambai, pandangan matanya lurus ke arah laut. Ia tak peduli dengan teriknya matahari kencangnya angin dan panasnya suhu pantai. Ia juga tak peduli dengan perkataan orang yang mengabarkan Suwito, suaminya yang hilang ketika melaut tiga hari yang lalu.

"Marni, ini sudah tiga hari dan tak ada tanda-tanda perahu dan awaknya kembali setelah peristiwa badai kemarin. Tidak hanya engkau, Marni yang kehilangan. Sumiati, dan Darmi juga. Mereka sudah merelakan suaminya". Narti berbisik lembut ditelinga marni. Ia adalah satu-satunya saudara sepupu dari ayahnya.
Saat berita hilangnya perahu yang ditumpangi empat nelayan Suwito, Slamet, Danang dan Yadi, suasana kampung nelayan ini seperti memcekam, kusam, sepi dan penuh duka cita. Dan Marni, ibu muda yang belum genap dua tahun mengarungi bahtera rumah tangga, diusia yang belum juga genap 20 tahun. Kehilangan suami bagai kehilangan separuh jiwa, separuh tiang penyangga harapannya karena kehilangan orangtua sejak kecil sudah cukup menggurat luka-luka yang belum ia pahami. Marni belum merasakan hangatnya kasih ibunda, kecuali sepenggal kisah dimasa kecil diusia tujuh tahunan. Sisa-sisa kenangan yang dia ingat, ibunya memberikan ampas parutan kelapa yang diberi warna-warni. Marni kecil sedang main masak-masakan. Sementara ibunya memasak di dapur. Sisa memotong sayurpun menjadi barang berharga untuk melengkapi permainannya. Hanya itu yang diingat. Setelah itu Marni kecil diungsikan kerumah nenek karena sang ibu menderita suatu penyakit kronis. Dan tak berapa lama diusianya yang masih sama ibunya meninggal.
Sedangkan sang Ayah. Marni belum pernah melihat wajahnya. Tak ada seorangpun yang menceritakan apa sebabnya.

Kini Marni hanyalah seorang wanita, tiap harinya berangkat menuju pantai, sejak fajar, lalu melewati tengah hari dan baru pulang menjelang senja. Memandang laut, membisikkan rangkaian doa-doa dengan bahasa yang hanya dipahami olehnya dan Sang Pencipta. Berharap angin dengan resonansinya membawa doa dan kata-kata yang ditujukan pada suaminya didengar. Lalu menyentuj air laut dan membisikkan padanya agar membawa kembali suami tercintanya.

Tahun demi tahun berlalu. Musim demi musim melewati. Orang datang dan pergi. Kelahiran dan kematianpun silih berganti.
Kini kampung kecil dipantai ini ttak sesepi dulu. Nelayan, tak lagi menjadi satu-satunya mata pencaharian. Sejak pemerintah daerah menjadikan nua sebagai obyek wisata lokal katena keindahan muaranya, sebuah aliran yang mempertemukan air sungai dan laut, dibentengi batu karang yang kokoh. Banyak orang dari luar mendatangi tempat ini. Kampung ini menjadi bergairah tidak sekering dulu. Hanya mengandalkan musim untuk mencari ikan dilaut. Kini, hanya dengan mengantar pengunjung naik perahu menyusuri pantai saja sudah menjadi penghasilan yang menjanjikan.

Dan Marni, masih menjalani ritualnya. Langkah-langkahnya kini tertatih menuju pantai. Menatap laut dan mengucapkan doa-doa. Berdiri ditempat saat suaminya pamit melaut untuk terakhir kalinya. Ditepi muara. Dengan anak-anak rambut yang memutih.

Sementara disetiap senja, seorang pemuda dengan setia menjemputnya pulang. Menuntunnya, memapah punggungnya yang kian lemah, dan berkata, "Ibu, bagaimana kabar Ayah?. "

----000-----

Author
Perempuan-perempuan setia adalah malaikat-malaikat penjaga bumi agar tetap berputar pada poros untuk mempertahankan titah dan fitrah. Membentengi peradaban dari murka Sang Pencipta.

Kumpulan Cerpen Where stories live. Discover now