Suryo menyalakan rokok dan menghisapnya pelan. Mengepulkan asap berbentuk gelang. Pelan-pelan. Memandang keluar jendela dengan curiga. Kearah sebuah rumah yang hanya dipisah oleh sepetak kebun. Pandangannya memusat pada satu sosok. Wanita muda yang baru menutup pintu rumah itu, menuntun sebuah sepeda kayuh berkeranjang putih dibagian depannya. Si wanita tidak tahu, sepasang mata tajam itu menatapnya dari balik jendela kamar.
Suryo menyalakan lagi sebatang rokok. Kali ini ia tak lagi memandang keluat jendela. Ia tertuju pada meja jati dan membuka lacinya. Sudah lama ia tidak membukanya. Setumpuk surat-surat yang sudah usang dan selembar foto kusam.Seorang gadis dengan senyum tersungging memegang setangkai kembang turi. Gadis inilah yang membuatnya merasa gagah, kuat dan berharga. Santun dan lembut tutur katanya. Dialah penyemangat disaat gagal dan kecewa. Masih dirasakan lembut sentuhan jemari saat mengusap peluh-peluh diwajahnya. Seraut wajah malaikat yang setia mendampinginya.
"Shhh! Aah! ". Suryo. Mendesis, bibirnya mengebulkan bulatan asap.
"Wanita jalang! ". ia mengumpat dan membanting foto itu dan memasukkannya lagi ke laci lalu menutupnya dengan keras. Braak!. Seakan menutup masa lalunya menutupnya kembali dengan kemarahan. Ia melakukannya berulangkali. Membuka laci, memandang foto, kadang membaca beberapa lembar surat lama, namun selalu berakhir dengan umpatan yang sama. Wanita jalang.
Kali ini Suryo memilih duduk diberanda. Masih dengan wajah teganh dua alis yang bertaut menampakkan kegelisahan. Duduk sambil tetap menghisap rokok, memandang kearah sebuah rumah. Diantara rimbun dedaunan sirih yang menjalat menutupi sebagian beranda. Dan disela-selanya sepasang mata tajam memandang lagi kearah yang sama, sebuah rumah yanh dipisah oleh sepetak kebun. Mata itu tiada henti memandang seperti burunh nazar menunggu mangsa. Sepasang mata itu menunggu penghuninya datang.Beberapa jam telah berlalu. Rumah diseberang kebun masih sepi. Pintunya tertutup rapat. Sejak wanita muda itu keluar dengan sepeda keyuh berkeranjang putih dibagian depannya, tak ada tanda-tanda kedatangannya. Suryo mulai lelah. Ia kembali ke kamar membiarkan jendela terbuka. Agar ia tahu apa yang akan terjadi dirumah itu. Kapan wanita muda itu pulang. Ia kembali duduk menangkup meja kayu jati, membuka laci dan mengeluarkan kembali lembaran surat-surat usang itu. Membacanya sekali lagi.
Mas suryo
Kapan sampeyan pulang dari surabaya? Emak dan bapak sering menanyakan kesungguhan mas meminang saya apa bisa dipastikan?
Segera beri kabar, ya Mas.Astuti.
Suryo masih ingat. Surat yang sampai dikamar mess proyekan tempat ia bekerja. Ia baca berkali-kali. Sembari memikul kegalauan karena tak mampu ia menjawab. Sekalipun lewat tulisan. Ia tak ingin membalas surat Astuti. Gadis yang dicintainya ini, ia tinggal mengadu nasib dikota besar. Ia bekerja sebagai apa saja asal mendapat uang. Kampung jalaman uang tandus dan miskin. Sulit menanam apapun disini. Sejak berdirinya pabrik karet dikampungnya, selain polusi udara, struktur tanahnya sudah berubah retak-retak dan kering. Tak dapat ditanami apapun. Tak ada pilihan lain selain jarus hijrah merubah nasin ke tempat lain.
"Maafkan, aku Astuti. Aku belum berani menikahimu. Aku belum memiliki apa-apa agar bisa memulyakanmu sebagai istri".
Suryo hanya membatin saja saat itu. Antara cinta dan nasib yang tidak beradu. Pertarungan mempertahankan hidup dikerasnya dunia. Lulusan SMU yang kalah telak bersaing di dunia kerja. Putus asa dan merasa gagal, disaat itulah Yanto menawarkan sebuah pekerjaan.
"Sur. Daripada kamu nganggur ngetengkur kaya gini, mending ikut aku saja ke Surabaya. Ada proyek jembatan layang. Kontraknya agak lama. Mungkin dua tahun tergantung kapan penyelesaiannya. Lumayan, sur gajinya seratus ribu perhari. Sudah disediakan mess. Kalo jadi, gak usah lama-lama. Lusa kita berangkat". Yanto meninggalkan nomer HP disecarik kertas. Setelah menyeruput kopi, ia menepuk pundak Suryo yang masih duduk terpukur di warung kopi langgananku. Sembari pamit Yanto menegaskan lagi ajakannya.
"Sur! ojok suwe-suwe, nek mikir lusa tuk susul jadi nggaknya, smsen, yo. (Sur, jangan lama-lama mikirnya, lusa tak jemput, kalo jadi nggaknya, sms saya, ya)".Kini Suryo tenggelam dalam pekerjaannya. Menjadi kuli bangunan mengumpulkan rupiah demi rupiah. Demi hidup, harga diri dan cinta.sampai ia mulai lupa untuk apa ia mulai bekerja setelah hampir setahun meninggalkan kampung halamannya. Dikota besar ini, ia habiskan waktu hanya untuk bekerja, bekerja dan bekerja. Jika ada lembur, ia ambil kesempatan itu. Yang penting ia dapat uang. Sampai berita dari Yanto ini mengguncang ketenangannya. Menegangkan urat-urat dan tulang rahangnya. Pemuda pendiam dan pekerja keras ini mendadak garang, matanya nanar, telinga panas.
Tangannya mencengkeram kerah baju Yanto. Ia pandangi teman kampungnya ini yang menyeringai.
"Tenang Sur! Aku hanya menyampaikan berita apa adanya.aku tidak mengada-ada. Aku justru memberitahumu, karena kupikir kau harus tahu. Jika aku peduli padamu, tentu kubiarkan kau. ". Yanto meringis kesakitan. Suryo melepaskan cengkramannya. Sambil mendengus tangannya meraih sebatang rokok dan menyalakannya. Ia hisap sambil menahan sisa marahnya."Kau dapat berita darimana. Kamu jangan menyebar fitnah yang macam-macam ya. Apalagi tentang Astuti. Kau jangan main-main! "
"kemarin waktu aku pulang, aku mampir ke warung kopinya Mbok Nah. Seperti biasanya, tapi saat itu orang-orang santer membicarakan Astuti. Sejak ayahnya meninggal, dan saat ini ibunya stroke, hanya berbaring ditempat tidur, Astuti sering menerima tamu laki-laki dirumahnya silih berganti. Ya, dirumahnya itu. Bukankah dekat rumahmu?". Yanto. Panjang lebar menjelaskan.
Dijatuhkannya sisa rokok yang masih tinggal beberapa centi. Dibantingnya ke tanah dan dinjak-injaknya dengan geram.
"To, besok aku pulang. Untuk beberapa hari. Aku minta cuti, mungkin seminggu, tolong carikan aku ganti". Suryo bicara dengan nada datar. Seperti menahan sekam kemarahan. Yanto hanya mengangguk saja. Memaklumi kegusaran temannya ini.
"Pulanglah, Suryo. Selesaikan masalahmu. Semoga kau mendapatkan solusi yang terbaik".
Suryo masih memandang kearah jendela. Langit sudah gelap. Rumah diseberang kebun masih tertutup pintunya. Tak ada seorangpun yang datang. Tak ada seorangpun juga yang keluar dari pintu itu. Sejak wanita muda yang keluar dengan sepeda kayuh berkeranjang putih itu keluar rumah. Tak ada yang terjadi. Dia bukan Astuti. Tak terlihat lagi Astuti dikampungnya. Rumahnya malah dihuni orang asing.Diwarung kopi Mbok Nah, beberapa teman sekedar menyapanya. Menanyakan kabar dan bercerita tentang keadaan kampung yang sudah mulai pulih. Katena pihak pabrik bersedia memberi ganti rugi, merekrut karyawan dari penduduk juga bertanggung jawab melakukan pemulihan lingkungan.
Tak ada yang membicarakan Astuti. Semua terlihat baik-baik saja. Kecuali sepotong hati Suryo yang hilang karena ia tak tahu rimba gadis itu.----000---
author :
Demikianlah fitnah. Jika sudah disebar. Bagaimana mengembalikannya seperti sediakala.. semoga kita dijauhkan dari perilaku memfitnah.