Saat kau pergi

158 3 3
                                    


Saat Engkau pergi
By : Fatatik Maulidiyah

Senin 8 April 2014  bakda Maghrib.
Tit.tit.
Text masage masuk dari kakak perempuanku.
Ibu tidak sadar di ICU Rumah Sakit
3 menit kemudian.
Tit.tit.
Text masage masuk dari adik laki-lakiku .
Neng, tolong kirimi bacaan fatihah untuk ibu sebanyak – banyaknya

Pandanganku gelap. Aku terhuyung-huyung.Langit seperti runtuh. Airmataku tidak bisa berhenti mengalir. Mataku tak mampu lagi melihat dengan jelas. Tangan dan seluruh tubuhku gemetaran. Aku segera mengganti baju dasterku dengan jubah seadanya yang ku cari tas di lemari. 

Kumasukkan apapun yang ku ingat. Baju ganti, dompet dan HP. Cukup. Aku terduduk di lantai sambil menangis tersedu – sedu. Ku tunggu suamiku pulang dari  masjid. Ia  terkejut melihatku duduk dilantai sambil menangis  .
"Buk ! Ada apa ?".
"Ayah , tolong jaga anak-anak dulu, ibu tidak sadar dan sekarang di ruang ICU Rumah Sakit. Aku harus kesana nanti aku kabari ".
Suamiku mengantarku sampai ke teras dan memimbingku mengeluarkan motor keluar rumah.
"Buk, hati – hati. Jalanan gelap, kecepatan pelan saja yang penting selamat." Aku mengangguk dan bibirku  terkatup rapat. Ku kendarai sepeda motorku dengan isak tangis. Airmataku meleleh tanpa henti. Diperjalanan  tak henti – henti aku mengirim surat Alfatihah sambil pikiranku melayang-layang.

Ya Allah Ibu, apa yang terjadi padamu ? Apa yang tidak diceritakan oleh kakak dan adikku ? Dua baris sms yang sungguh mengguncangkan aku. Rumahku memang yang paling jauh dengan rumah ibu, sekitar 25 km. Tapi aku masih sering mengunjungi beliau. Bahkan kemarin aku seharian berbincang-bincang dan bercanda. 

Aku diberinya dua buah buku. Kisah Nabi Khidzir dan buku Tasauf tentang kerinduan surga. Ibu menceritakan Nabi Khidzir dan mata air kehidupan dengan begitu dramatisnya. Kenapa hari ini engkau tidak sadarkan diri ? Kemarin engkau masih ceria bahkan mencuci bajumu sendiri, santai membaca buku dan ikut kegiatan Thariqat di masa pensiun setelah 34 thun mengabdi menjadi guru.
Apa yang terjadi, Ibu ?
Tak henti – henti aku bertanya. Perjalanan 25 Km serasa beribu-ribu mil. Aku menerobos gelap dan pandanganku semakin buram karena banjir airmata. Dan sampai juga aku di pelataran Rumah Sakit.  Bergetar seluruh badanku menuju ruang ICU. Kulihat beberapa saudara sepupu berkumpul menyalamiku dan memegang pundakku sambil menyampaikan kalimah – kalimah kesabaran padaku.

Tidak ! Aku tidak butuh itu ! Dimana, dimana Ibuku ? Saudara – saudaraku ?. Pandangan mataku nanar. Wajahku panas. Ku lihat ibu di pembaringan dengan balon oksigen, namun ritme nafasnya teratur. Matanya terpejam. Aku disambut tangis oleh  kakakku, adik-adikku. Apa yang terjadi ? Ibu kenapa ?.

Kakakku. Ya, ku tatap kakakku penuh tanya. Dan dia hanya bilang "Sshhhsh. Jangan bicara. Pegang tangan ibu, genggam dan ucapkan fatihah sebanyak – banyaknya." Wajahnya datar.
Kami berempat mengelilingi pembaringan ibu. Ibu hanya terpejam, namun masih bernafas. Tiba – tiba dokter menginstruksikan untuk melakukan tindakan kejut jantung beberapa kali. Kami berempat menyisih. 

Ya, Allah. Seperti inikah Engkau ambil Ibu kami . Secepat itukah Engkau mengambilnya dari sisi kami ? Tanpa tanda – tanda. Tanpa memperdulikan bagaimana kami siap ditinggalkan . Mengapa tak Kau buat Ibuku sakit sebentar saja sementara kami anak – anaknya menikmati romantika bergantian merawat Ibu di Rumah Sakit. Seperti yang orang-orang lain alami.

Mengapa ? mengapa secepat itu ?. Dokter mendatangi salah satu dari kami. Kakak perempuan sulungku. Diberinya suatu informasi yang membuat kami paham bahwa Ibu tidak akan lagi berada diantara kami. Kami berpelukan saling menumpahkan tangis. Berpegangan erat. Menangis. Menangis sejadi – jadinya. Lalu seorang perawat menyarankan kami untuk tidak menangis, sebab kasihan jenazahnya.

[Tidak ! biar ! Biarkan kami menangis. Biarkan kami meraung. Untuk meratapi satu – satunya orangtua kami  yang pergi setelah Ayah kami. Kami ikhlas !  Tapi biarkan kami menangis.
Satu jam. Ya. Setelah kelelahan itu. Airmata kami sudah habis, tuntas mengering. Kami ciumi seluruh wajah, tangan dan kaki Ibu kami. Memohon ampun atas segala kesalahan – kesalahan kami. Setelah itu kami sudah bergegas. Bertindak cepat mengurusi surat-surat berkaitan dengan Rumah Sakit dan persiapan perawatan jenazah.

Dirumah Ibu. Kami semua sudah berkumpul. Seluruh anak-anaknya sudah berganti baju untuk persiapan memandikan jenazah. Sudah. Kami sudah tidak menangis.
Di ruang depan tampak jenazah ibu terbujur. Diam terpejam. Oh ibu. Tampak cantik engkau dengan balutan kain kafan putih itu. Engkau seperti tidur lelap. Setelah disholati, malam itu Kami anak-anaknya tidur berdesakan di ruang persemayaman. Kami ingin menikmatinya. Sebelum beliau dimakamkan esok pagi.
---000---
In memoriam, 8 – 9 April 2014.





Kumpulan Cerpen Where stories live. Discover now