By : FatatyHari itu berdebu. Sangat berdebu, panas dan kering. Sesekali desing peluru terdengar. Jerit tangis dan gemeretak kokang senjata adalah lagu abadi yang diputar diselajur kota tua bernama Gaza. Gadis 14 tahun meringkuk disudut ruang gelap dan pengap. Ia tidak menyentuh piring dan gelas disampingnya. Seonggok roti basi dan air yang anyir baunya. Ia masih meringkuk memeluk erat tas ransel usang berisi buku-buku sekolah. Ya, dua hari yang lalu. Adalah hari yang naas baginya. Berangkat sekolah bersama dua adiknya. Ia juga terbiasa melihat tentara Israel berseliweran di depan rumah, sekolah dan semua jalanan yang di telusurinya. Hari yang menjadi sebab dikurungnya dia dalam ruang sempit. Berpisah dengan orangtua dan adik-adiknya.
"Tangkap gadis itu ! . dia membawa senjata". Teriak seorang tentara Israel. Tentara itu, ia masih muda mungkin berusia duapuluhtahunan. Menggeledah tas sekolah malik seorang gadis. Mengangkat tinggi-tinggi sebilah pisau. Tidak terlalu besar. Lalu diseretnya gadis itu dipinggir jalan.
" Untuk apa kau bawa pisau ini,Ha ?". tentara yang lain memelototinya. Menghujam kedua mata gadis itu. Ia diam saja. Tentara itu makin penasaran. Ia tuang seluh isi ransel usang itu. Semua dikeluarkan. Hanya buku tulis, beberapa buku bacaan dan pulpen yang berserakan. Gadis itu tetap diam.
" Kau membawa pisau ini untuk membunuh tentara Israel ? ", gadis itu mengangguk. Tegas tanpa keraguan. Dua tentara muda itu makin beringas. Tanpa ampun. Gadis itu dinaikkan mobil. Dan disinilah, Malika, nama gadis Palestin berusia 14 tahun berada.
Ya. Gadis 14 tahun ini ditahan oleh militer Israel setelah diadili dengan tuduhan membawa senjata tajam dalam ransel sekolahnya saat dia melewati pemukiman kaum Yahudi dikawasan Carmel Tsur. Ia divonis 4,5 bulan .
Malika masih meringkuk disudut sel yang lembab. Ia hampir tidak melihat cahaya. Hanya sedikit celah ventilasi saja. Sesekali ia mengguman menyebut nama Ibu, Ayah dan adik-adiknya. Hatinya menjerit, melolongkan derita dan kehilangan. Berharap getaran suara batinnya berhenti disebuah rumah di Berham Halhoul,Hebron. Tempat dimana ia dilahirkan.
Malika menangis. Memeluk ransel. Pakaiannya tidak pernah ganti sejak ia masuk sel. Ia tidak mengerti mengapa pagi itu Ibunya membawakan pisau . " Demi keselamatan" kata Ibunya. Malika mengiyakan saja. Ia percaya apa kata Ibunya. Ibunya hanya berharap dia aman. Tidak diganggu oleh siapapun. Malika juga tidak mengerti mengapa ia mengangguk sewaktu tentara Israel itu menginterogasinya.Malika tersedu-sedu disudut sel. Berharap pelukan Ibu, Ayah dan adik-adiknya saat ini. Tak siapapun disini yang ia kenal. Wajahnya terus bersimbah airmata. Beberapa lama. Sampai ia tertidur.
Beberapa saat kemudian Malika terbangun. Ia mengerjap - ngerjapkan kelopak matanya. Sel yang ia tempati berubah. Sebuah ruang yang lapang. Semerbak wanginya. Sebuah aroma yang tidak pernah ia temui. Didekatnya adalah dipan dengan bantal besar bertumpuk-tumpuk. Dinding-dinding ruang gemerlap bertahta batu-batuan mulia. Malika tersenyum. Ia melihat dirinya tidak lagi memakai seragam sekolah. Wajahnya lembut bercahaya. Ada cermin besar didekatnya. Ia mematut diri. Kagum. Dia melihat dirinya sangat jelita. Dibelakang punggungnya sepasang sayap putih mengepak lebar dikanan – kirinya.