Perempuan – perempuan yang tidak puas
By : FatatySaat itu menjelang siang. Sekitar pukul sebelas. Para suami juga masih bekerja sementara anak – anak belum usai sekolah. Keempat perempuan ini sepakat bertemu di warung rujak cingur Mbok Nah. Sebuah warung yang berada di salah satu kampung dekat alun-alun kota.
Empat perempuan yang saling kenal karena anak-anak mereka sekolah di SD yang sama. Hampir setiap hari bertemu ketika mengantar sekolah, les atau Outing Class. Akrab. Kebersamaan mereka pun tak hanya masalah anak. Tetapi merambah ke masalah saling curhat tentang keadaan rumah tangga, acara TV favorit, tempat belanja harga grosir, kuliner terbaru juga majelis taklim komplek perumahan.
Hari ini mereka sepakat makan siang bersama.
" Banci! Aku menyebutnya banci!". Kata perempuan putih berdagu lancip. Ia mengunyah kacang goreng dengan bunyi gemerutuk seperti menahan marah. Ia lanjutkan gerutuannya.
" Bagaimana mungkin dia tidak bilang pada Ibunya kalau aku yang melunasi hutang-hutangnya. Sampai sekarang, Ibunya masih ketus padaku. Aku masih dianggapnya menantu yang lemah, menunggu jatah suami, boros dan malas. Apa dia tidak tahu, meski aku ini kelihatan main hape terus, bisnis onlineku ini lancar jaya . Aku bukan tipe perempuan yang lemah tanpa inisiatif dan mengganggu. Aku bahkan memberi, menyuplai, pandai mencari pinjaman, lincah melihat peluang". Ia sobek bungkusan kacang goreng ketiga sambil menunggu ulekan rujak. Ia masih saja melanjutkan gerutuannya, makin berapi-api.
" Kalau ada pepatah mengatakan, ada uang abang disayang, bagiku, kalau tak ada uang, Abang tak kasih uang. Itulah prinsipku"." Sudahlah ! Tak baik kau ungkit terus-menerus jasamu pada suami. Hal itu menyinggung harga diri laki-laki. Engkau mestinya bersyukur. Suamimu itu masih sehat, tidak sakit-sakitan, masih pula bekerja. Nafkah batin masih bisa memberi, kan ? Tukas perempuan berkerudung. Ia berusaha meredam amarah pada perempuan berdagu lancip. Nada bicaranya masih mendengus – dengus.
" Hampir setahun terakhir, aku sudah kehilangan nikmatnya berhubungan badan. Entah , stamina suamiku sering drop. Cepat lelah. Loyo, sering berkeringat dingin . Kata dokter berat badannya harus dikurangi. Menu pantangannya banyak. Aku kadang kesulitan menentukan apa yang harus ku olah agar suamiku tidak drop lagi. Kata dokter no karbo, no gula , no lemak. Rasanya seperti punya anak lagi. Ketiga anakku juga berbeda-beda selera makannya. Yang sulung tidak suka nasi yang lembek, adikknya malah suka. Akupun harus memasak menu berulang-ulang. Setelah bikin nasi goreng, ada yang maunya sambel terasi. Kalau Ayahnya malah rumit. Semua harus ditakar. Minyaknya, gulanya, garam dan segala macam. Tidak seimbang sedikit saja, ada yang kambuh. Kalau tidak Hipertensinya ya kolesterolnya. Kalau tidak asam uratnya ya diabetnya". Bibirnya mengerucut. Tatapan matanya melirik ke perempuan berdagu lancip. Seakan berkata, " Kamu masih enak, rumah bagus, punya mobil, sudah naik haji, suami juga sehat wal afiat."
" Sudahlah ! Tak perlu kita meributkan suami-suami kita. Orangtua dulu bilang jodoh itu seperti lotre. Kita harus siap menghadapi kejutan-kejutan. Harus bijak menyikapinya. Selagi kita masih memiliki keluarga, anak dan suami kita masih kaya. Keluarga adalah harta yang tidak ternilai. Apalagi kalau setiap pulang kerumah dengan keadaan apapun kita berkumpul sekeluarga adalah anugerah".
Perempuan berambut pendek ini memang lebih matang daripada teman-temannya meskipun usianya paling muda. Tapi nada bicaranya melemah tepat pada kalimat " berkumpul dalam satu keluarga". Tiba-tiba ia menangis. Tersedu-sedu. Membuat gugup ketiga temannya. Ada yang mengusap punggungnya tanda prihatin meski dia tidak mengerti. Yang lain menyodorkan tisu dan memberinya kata-kata untuk bersabar. Tetap dalam tanda tanya, namun mereka tidak berani bertanya sebabnya.
Dalam terisak. Perempuan berambut pendek itu mecceritakan bahwa suaminya baru saja menikah lagi. Dengan mantan pacarnya waktu SMA. Ia makin tersedu-sedu. Dia baru mengetahuinya tanpa sengaja melalui ponsel suaminya yang tertinggal. Tangisannya meledak. Ia tak kuat menyangga kepalanya. Pundaknya berguncang-guncang.
Sedikit reda. Setelah tangis memilukan itu. Hidangan empat piring rujak cingur sudah tersaji. Aromanya menggoda. Ke-empat perempuan ini menekuni piringnya masing-masing. Rupanya sesi curhat plus tausiah dadakan cukup membuat mereka lapar. Semua sudah mengutarakan semua. Perempuan berdagu lancip, perempuan berkerudung dan perempuan berambut pendek. Tinggal satu yang belum menceritakan apapun.
Setelah rujak itu tandas semua. Sambil menyeruput es blewah, pandangan ketiga perempuan itu tertuju pada perempuan keempat, perempuan dengan cat kuku berwarna merah. Ia belum menceritakan apa-apa, terutama tentang suaminya. Semua sedang menunggu, sementara dia asyik saja memainkan ponsel. Perempuan berdagu lancip tidak sabar.
" Bagaimana kabar suamimu ?". Ia bertanya penuh selidik. Perempuan bercat kuku wana merah itu menjawab seadanya."Suamiku baik-baik saja. Seperti biasanya. Dia baru akan mengajakku bicara kalau ada perlu. Aku tidak apa-apa. Aku sudah terbiasa. Itu sudah terjadi bertahun-tahun. Dia juga tidak tahu apa yang kusukai, atau apa yang tidak aku sukai. Dia tidak menanyakan apapun. Tidak pernah. Dia juga tidak menggangguku, juga tidak memberiku apa-apa. Tidak ada yang kami ributkan. Anak-anak kami juga baik-baik saja. Sehat, penurut, periang. Begitulah. Karena itu dia tidak tahu aku jatuh cinta lagi".
Semua diam. Terperangah. Dan mengakhiri pertemuan itu. Pertemuan sekitar 60 menit disebuah warung rujak cingur langganan, aetelah itu mereka menjemput anak-anak mereka dari sekolah, mampir ke pasar untuk belanja keperluan dapur, sepulang sekolah melayani anak-anak mereka, menyiapkan keperluan suami tanpa berkata-kata, perempuan-perempuan itu juga setia mengerjakan tugas kesehariannya tanpa mengomel, pandai mencukupkan uang belanja dari suami mereka tanpa protes. Seperti biasanya. Selamanya.
Mojokerto, 18 Maret 2018.