EMPAT

20 1 0
                                    

"Selamat pagi Para Hadirin yang berbahagia, semo-"

"Stop. Kalo udah ada kata hadirin ga usah pake kata para."

"Kenapa?"

"Karena, kata hadirin udah mewakili para yang artinya jamak Anya..."
Sekarang, Karen dan Diza sedang berlatih pidato. Atau lebih tepatnya, Karen sedang berlatih pidato dengan Diza yang beralih profesi sebagai guru privat 'pidato' Karen.

"....Mohon maaf apabila ada kata yang kurang berkenan. Selamat siang."

"Lo udah bagus,tapi jangan kecepetan aja sih. Udah selesai latihan pidato, sekarang lo ajarin gue fisika." Diza mengeluarkan buku berjudul FISIKA KELAS XI dengan malas,sedangkan Karen duduk di samping Diza menghadap kertas kertas yang berserakan di mejanya.

"Rajin amat bawa buku banyak. Kemaren aja gue cuma belajar satu buku."

"Lah emang lo baru nyadar kalo gue rajin? Itu mah elo Nya, baca buku satu sumber aja udah faham, lah gue? Boro-boro faham, liat rumus aja ngeblur. Oh iya Nya, guru kita kan sama tuh, kali aja soalnya sama. Lo bocorin aja deh soal ulangan lo kemaren biar nilai gue ga ancur-ancur amat gitu."

"Klise banget alasan lo. Genteng kali bocor. Pokoknya lo harus belajar. Materinya gampang ko,kalor."

"Nah itu masalahnya, gue mendadak buta rumus kalo denger kolor-kolor itu,kalo rumus yang lain mah gue oke oke aja."

"Kalor bego bukan kolor! Lah waktu lo UNNAS SMP ngerjainnya gimana?"

"Ya maksud gue itulah. Ga usah dijelasin, you know what i mean." Diza menunjukan giginya yang rapi kemudian mengakat tangan kananya dengan jari membentuk huruf v, sedangkan Karen hanya memutar bola matanya 'bagaimana bisa siswa yang hanya memiliki otak setengah semacam Diza diikutsertakan dalam OSN?'

"Ck, ini mah gampang kali Za,tinggal liat grafiknya aja. Kalo miring rumusnya ..... faham?"

"Faham bu guru." Diza membuat-buat suaranya seperti anak tk yang baru saja selesai diterangkan oleh gurunya.

"Rese! Eh Za tangan lo ko ada bintik-bintik merah gitu? Di rumah lo banyak nyamuk ya?" Karen mengerucutkan bibirnya, namun sepersekian detik kemudian tergantikan oleh rasa penasaran.

"Eh.. Em.. Ini? Ga apa ko. Iya di rumah gue banyak nyamuk. Nyamuknya genit banget pake cium-cium tangan gue. Lo ga ada niatan lakuin hal kaya nyamuk Nya?" Satu kebohongan yang Diza lontarkan hari ini.

Pletakk

"Nyium lo gitu?najis." Ucapan Diza di kalimat terakhir membuahkan satu jitakan keras dari Karen yang mendarat mulus di keningnya.

"Tenaga kuli banget anjir. Nya ke sebelah yuk gue udah lama ga main nih." Diza mengelus keningnya sambil meringis.

Tanpa menjawab tawaran Diza, Karen segera bangkit dan berjalan cepat ke arah ruangan yang berada di sebelah kamarnya.

Gadis itu duduk disebuah kursi yang berhadapan dengan benda besar berwana putih tulang yang didominasi dengan tuts hitam dan putih.

Ingatannya kembali memutar memori masa lalu-nya,dimana seorang anak bernama Karen duduk bersebelahan dengan sang ibu ,sedangkan sang ayah duduk di kursi lain dengan tangan kanan memetik senar gitar kesayangannya. Senar yang dipetik mengalun bersamaan dengan tuts yang ditekan oleh dua perempuan yang duduk bersebelahan, melantunkan sebuah nada yang indah.

Nada keharmonisan sebuah keluarga.

Nada kebersamaan sebuah keluarga.

Dan Nada Kebahagiaan yang terpancar dari sebuah keluarga.

Karen24Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang