<Ketika aku menarik diri>
By
Shinji Ginki
====
Setelah Mos yang dilakukan selama 3 hari. Aku sudah resmi menjadi siswa SMA. Perasaan bangga itu muncul saat aku memakai baju putih abu-abu ini.
"Bi aku berangkat," ucapku sedikit berteriak.
Aku ke sekolah menggunakan motor pamanku sedang paman menggunakan mobil.
Pamanku juga seorang guru di SMA-ku, sebagai guru sejarah.
Setibanya di sekolah aku lalu pergi ke Mading untuk melihat dimana kelasku.
Puk
Seseorang menepuk punggungku.
"Alan!"
"Hey! Kita sekelas loh!" ucapnya sambil melihat ke arah Mading.
Masih kurang yakin akan ucapannya, kau kembali melihat daftarnya.
Benar, kita sekelas. Oh ya tuhan, kau mengabulkan doa gilaku.
"Sudah lihat?" tanya Alan
Aku hanya mengangguk sambil tersenyum.
*****
Ini minggu kedua setelah aku resmi menjadi siswa SMA. Dan hari ini kelasku kosong. Ibu Siti tidak masuk karena berhalangan jadi dia menitipkan tugas untuk kami.
Sepanjang hidupku di sekolah, aku paling benci yang namanya menulis. Entahlah, disaat yang lain paling benci yang namanya hitungan seperti Matematika, fisika, kimia. Aku justru membenci pelajaran bahasa indonesia, bahasa inggris, Pkn, sejarah, pokoknya yang kalau soalnya berbunyi 'jelaskan atau bagaimana'.
Dan hari ini pun aku hanya memandang tugas Pkn ini dengan malas. Apalagi ini adalah jam terakhir, semua teman kelasku terlihat sangat mengerikan. Ada yang menguap menahan kantuk, ada yang makan di kelas, ada yang tidur, namun ada juga yang mengerjakan tugas Pkn ini.
"Hei Ki nomor 5 gimana? Aku cari di buku tapi tidak Ketemu-ketemu?" tanya Alan yang berada di belakangku.
Alan memang termasuk murid yang rajin. Kenapa? Karena dia memang selalu mengumpulkan tugas entah itu Matematika atau Pkn seperti ini. Dia anak yang pintar.
Aku menoleh ke belakang sambil memperlihatkan buku tulisku. Hanya ada tulisan '1' di bagian kiri atas buku yang menandakan aku belum mengerjakannya.
Alan hanya tertawa lalu merampas bukuku.
"Hey!"
"Aku tahu kau tidak menyukai Pkn, biarkan aku yang kerjakan." tanggapnya sambil mulai menulis jawaban di bukuku.
"Tapi tulisan kita beda Al!" sergahku
"Ibu Siti tidak akan mempermasalahkan ini!"
Aku diam, tidak menanggapinya lagi. Aku merubah posisi tubuhku menghadapnya. Daguku kusandarkan di kepala kursi dengan malas.
"Al, kenapa kau sangat baik kepadaku?" tanyakan disela-sela dia menulis.
"Mmm. Kenapa ya?...." Alan seolah menggantungkannya.
Hening..
Dia terlihat sangat serius mengerjakannya. Padahal ini kan hanya Pkn, tidak perlu seserius itu juga Al.
"Kenapa Al?" tanyaku semakin penasaran.
"Apa aku harus mengatakan alasannya ketika aku menolongmu?" kini suara Alan sedikit naik. Dia benar. Kenapa aku harus bertanya ketika dia mau menolong? Ya jelaslah karena dia ingin menolong. Sebenarnya aku ingin mendengar bahwa dia menolongku karena dia menyikaiku....... Baiklah aku sudah terlalu berangan. Tapi lihatlah, dia sangat baik.
"Alan!" teriak seseorang dari arah pintu.
Aku dan Alan menoleh lalu menemukan cewek cantik sedang melambai ke arah kami.
"Siapa dia Al?" tanyaku.
Alan tidak menjawabnya, dia kembali menulis jawaban di bukuku.
Cewek itu menuju ke arah kami.
"Hey! Kita pulang bareng ya? Soalnya hari ini aku tidak dijemput," ucap cewek itu sambil bergelantungan di lengan kiri Alan.
Melihat mereka berdua ada perasaan sakit yang sangat terasa di dalam sana. Alan, apa dia pacarmu? Tanyaku dalam hati, berharap dia mendengar lalu mengatakan tidak.
"Alan kau sedang apa?" tanya cewek itu dengan suara manja.
Sepertinya benar, dia pacar Alan. Aakh... semakin kesini aku semakin tidak tahan.
Aku berbalik badan, enggan untuk melihat mereka.
"Ini tugas Pkn dari ibu Siti," Jawab Alan. Jika didengar dari nada suaranya, sepertinya dia sangat senang sekarang.
Riski kau harus ingat, Alan itu straight. Dia tidak akan menjadi sepertimu.
"Oh ya sebentar pulang kau temani aku ke Mall ya, aku mau beli baju, boleh?" tanya Cewek itu dengan suara centilnya.
Rasanya aku ingin mencakar mulutnya lalu mengatakan kalau Alan itu milikku. Eh? Maksudnya akan menjadi milikku.
'Kriiing' bel panjang berdering yang menandakan bahwa hari ini cukup sampai disini.
"Ki bukumu nanti besok aku kembalikan!"
Aku tidak menjawabnya, dengan cepat aku bereskan mejaku lalu segera pergi dari sini.
"Riski.... Riski!" panggil Alan namun aku masih saja berjalan sambil mengangkat tanganku. Pertanda 'Baiklah, sampai ketemu besok'. Itu adalah kebiasaanku. Jika aku sedang sedih atau hatiku terluka. Suaraku akan bergetar dan air mataku akan jatuh. Ini sudah seperti kutukan untukku.
******
Besoknya....
Aku menjauhi Alan. Bukan, bukan menjauhinya, aku hanya menjaga jarak dengannya. Konyol memang tapi aku harus menghilangkan rasa ini. Tadi malam aku melihatnya bersama cewek itu di depan rumahnya. Oleh sebab itu aku memutar jalan lebih jauh agar tidak lewat di depan rumahnya.
"Riski...... RISKI!" teriak Alan. Semua orang di koridor berhenti. Aku pun. Tubuhku gemetar. Suara langkah kakinya kian mendekat.
Alan membalikan tubuhku dengan kasar lalu memberikan bukuku di tanganku.
"Berhentilah bersikap anak kecil. Jika kau mau menjauhiku bukan seperti ini." Ucapnya marah. Ya dia marah, dan ini semua karena salahku.
"Aku tidak mengerti kenapa kau menjauhiku, namun jika itu keinginanmu aku tidak bisa apa-apa?" kini semua orang memandang kami.
Alan pun pergi meninggalkanku. Sedang aku hanya terdiam, hatiku semakin terluka. Jangan tanyakan mataku. Aku berusaha untuk menahan air mata yang sebentar lagi akan jatuh.
Orang-orang di sekitarku melanjutkan aktivitas mereka kembali. Dengan kuat aku memegang bukuku, mencoba menetralkan emosiku. Menarik nafas dalam-dalam lalu menghembuskannya dengan lembut. Baiklah! Terserah kau Alan. Kau tidak pernah mengerti kenapa aku menjauhimu. Aku juga tidak ingin kau mengerti. Aku...........tidak akan lagi memendam rasa padamu.
#Tbc.......
Sepertinya aku sudah mulai mem'pendek'kan cerita ini... Hahaahah #DijitakReaders
Entah energi apa tapi cerita kali ini, aku sangat bersemangat. Bersemangat buat tamatin cerita ini itu dengan cepat, haahahah