04

181K 9.9K 608
                                    

Jangan lupa vote dan komen <3

Selamat membaca~

***

Hari sudah begitu larut malam, dan bahkan sudah hampir berganti hari, tapi sosok laki-laki dengan kacamata baca yang bertengger di hidungnya seolah tidak berminat sama sekali beranjak dari tempat duduknya, ia bahkan tidak berkedip sama sekali. Rendra, laki-laki itu terlihat begitu fokus membaca dokumen-dokumennya, menjelang akhir bulan memang selalu membuatnya sangat sibuk. Sesekali Rendra mengerutkan keningnya ketika merasa ada yang janggal dengan dokumen-dokumen yang ia baca, ia pun dengan cekatan mencoret bagian yang salah dan menuliskan sesuatu di sana untuk direvisi karyawannya.

Jika sedang bekerja, Rendra memang bukan lah seorang Rendra yang liar dan sering bergonta-ganti wanita. Bisa dibilang Rendra ini memang orang yang pintar menempatkan diri.

"Muka lo bisa biasa aja enggak, sih?"

Rendra yang sedari tadi serius dengan pekerjaannya kini menatap seseorang yang sedang mengajaknya bicara, Levin, sahabatnya. Tapi, sejak kapan Levin sudah duduk manis di kursi depan mejanya ini? Ia tidak mendengar langkah kaki sama sekali, apa mungkin Levin terbang? Tapi kan Levin bukan burung, apalagi bidadari.

"Sejak kapan lo ada di sini?"

Levin menghela napas berat. "Udah hampir sepuluh menit gue di sini."

"Kok gue enggak tahu?"

Levin memutar matanya malas. "Lo lagi stress?"

"Menurut lo?"

"Kenapa lagi? Perjodohan itu?" tanpa mendengar jawaban Rendra pun Levin sudah tahu apa jawabannya. Rendra memang sudah menceritakan semuanya, masalah perjodohan laki-laki itu dengan wanita –yang menurut Levin cantik- namun tertutup, maksudnya wanita itu mengenakan kerudung.

"Gue rasa dijodohin bukan sebuah hal buruk," Levin mengambil selembar foto yang tadinya tergeletak begitu saja di meja kerja Rendra, ia menatap wanita yang ada dalam foto itu lekat kemudian menaruh kembali selembar foto itu. "She's look so fine. Elegant, beauty, smart, and well education. Too perfect to be true, Ndra. Bisa kok buat dijadiin gandengan waktu ketemu kolega-kolega lo. Come on, jangan buat seolah-olah perjodohan ini terlihat sangat buruk, gue rasa lo terlalu brengsek kalau sampai merasa perjodohan ini sangat buruk. Karena seharusnya dia yang ngerasain itu, dinikahin bedebah kayak lo? Kalau gue jadi dia, gue milih mati."

Rendra menatap selembar foto yang ada di mejanya, ia kemudian menghela napas berat. Afra memang cantik, siapa yang tidak mengakui kecantikan Afra? Apalagi –menurut penuturan mamanya- Afra ini wanita berdarah Jawa, Arab dan Russia, jadi tidak heran jika ia terlihat begitu cantik. Mamanya juga sering mengatakan jika sampai mereka menikah, keturunan mereka pasti juga tidak kalah cantik dan tampan, ya.. mengingat Rendra juga memiliki darah Brasil.

Rendra kembali menghela napas berat. "Tapi ini bukan masalah dia cantik atau enggak, ini masalah serius di mana gue harus nikah sama dia, orang yang enggak gue kenal sama sekali. Enggak akan jadi masalah kalau gue cuma tidur satu malam aja sama dia, tapi ini enggak, gue harus tidur sama dia untuk banyak malam, and we're tied in marriage bonds. Coba aja lo jadi gue."

"Kalau gue jadi lo, gue udah sujud syukur dijodohin sama orang sesempurna Afra, kenapa gue harus nolak dia coba?" sahut Levin santai. "Lo juga pewaris tunggal di perusahaan keluarga lo, gue setuju kalau kita tuker posisi-AW!"

Levin meringis, ia mengusap keningnya yang terkena lemparan bolpoin dari Rendra. "Sakit bego! Pulpen lo dari besi ya?"

"Biar otak lo encer dikit," jawab Rendra ketus. "Lagian lo buta? Kayak gini lo bilang cantik? Yang jelek kayak gimana?"

My Bad BoyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang