Pesta dan Luka yang Membekas (Part 2)

444 79 0
                                    

"Alfian?" Mataku membelalak begitu melihat sesosok Alfian tengah berdiri di depanku dengan raut murka.

Tanpa berkata sepatah kata pun, ia berjalan mendekat, menggeggam tanganku, kemudian menyeretku entah kemana. Padahal aku masih ingin membantu Kak Juna yang jelas-jelas masih terkapar tidak berdaya di lantai.

"Lepasin, Al!" Aku bersikeras ingin melepaskan tanganku dari genggamannya."Lo kenapa sih??"

Tapi usahaku itu percuma. Semakin lama genggamannya malah semakin erat, membuat tanganku sakit. Ah, aku mulai jengkel karenanya.

Tak lama, kami pun memberhentikan langkah kami di sebuah taman yang indah. Taman milik keluarga Alfian lebih tepatnya.

Suara jangkrik terdengar sangat jelas, penjeda sebelum Alfian kembali membuka mulutnya.

"Harusnya lo berterima kasih sama gue."

Aku mengerutkan dahi. Terima kasih untuk apa?

"Thanks to ...?"

"Karena gue udah nyelametin lo yang nyaris jadi korban ke-playboy-an kakak gue," jawabnya cepat. Raut mukanya masih datar.

Aku langsung tertawa begitu mendengarnya. Tawa yang terdengar garing."Hahaha. Lucu ya. Lo bilang kakak lo playboy? Dasar adek kurang ajar," ucapku sinis.

"Nggak percaya banget lo. Asal lo tau, kakak gue udah punya pacar dan itu banyak, Cha."

"Ya terus kalo udah punya pacar napa? Nggak boleh kenalan?" Aku mulai naik darah. Yah, mungkin ini efek karena aku lelah, jadi emosiku mudah terpancing.

"Nggak boleh." Ia melipat tangannya di depan dada."Lagian cowok kayak dia itu nggak pantes buat lo kenal. Gue aja yang jadi adeknya muak sama kelakuannya."

Aku mendengus kesal."Emang lo siapa, berani ngatur-ngatur hidup gue?" Aku menantangnya.

"Gue? Gue temen lo. Gue berhak buat ngingetin lo. Gue cowok, gue tau cowok mana yang brengsek dan mana yang nggak," jawabnya dengan nada yang mulai frustasi.

Mendadak aku berpikir. Apa katanya? Teman?

Dan setelah itu otakku mulai bekerja tanpa arah.

"Temen? Lo cuma nggagep gue temen?" Aku berkata tanpa sadar apa maksud ucapanku."Lo jahat."

Dia hanya diam. Sepertinya bingung dengan apa yang kuucapkan. Aku sendiri saja tidak tahu aku ngomong apa. Apalagi dia?

"Lo nggak sadar, Al ..." Aku menggantungkan ucapanku."Selama ini gue mendam semuanya di dalem hati."

Kemudian aku melanjutkan,
"Lo nggak tau, kalo pas lo ngobrol bareng sama Maya, ketawa bareng dia, pokoknya semua hal yang lo lakuin bareng Maya, itu bikin hati orang lain hancur."

"Dan lo tau siapa orangnya ...?"

Tanpa kusadari, mataku mulai terasa panas. Tetes demi tetes air mata mulai berjatuhan, membasahi pipiku yang masih terbalut bedak tebal.

Say it, or never.

"Gue, Al. Gue yang udah lo bikin hancur," ucapku seraya menunjuk diriku sendiri."Tapi anehnya gue masih aja tahan mertahanin semuanya."

"Dan itu gue lakuin karena gue sayang sama lo, Al. That's what I wan't to say a long time ago to you. But you never notice me."

Aku tidak tahu harus apa lagi, selain berlari meninggalkan Alfian yang masih berdiri mematung di tengah taman.

Aku terus berlari, menjauh darinya untuk sementara. Karena aku yakin dia pasti sudah menganggap kalau aku ini gila dan akan langsung menjauhiku, atau bahkan memusuhiku.

Menyatakan perasaanku secara langsung bukanlah hal yang ingin kulakukan sekarang. Tapi kalau akalmu ternyata bertolak belakang dengan kemauan hati, aku bisa apa? Tetap memendamnya walau nyatanya rasa sakit itu makin kurasakan?

Sabtu, 16 Januari 2016.

-0-0-0-

Jum'at, 23 September 2016.

a/n:

Ahh ... Akhirnya update juga. Yeay! Aku lega rasanya. Akhirnya bebanku berkurang:v

Maaf ya kalo makin lama ceritanya makin gaje. Chapter ini harusnya greget, karena adegan nembaknya si Acha kan. Tapi ya .. karena belum pengalaman kek gituan jadine ya gitu deh hasilnya. Greget enggak. Sebel iya:"

Sekali lagi, maaf yang kalo nggak dapet feelnya. Makasih banget yang udah mau luangin waktu kalian buat baca cerita abalku ini. Plus yang vomments juga. Aku bersyukur banget readersnya bisa nyampe 230 lebih:" #terharu

Salam terhangat,

tazkiyaa

vanilla caramelTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang