Aku terbangun dengan terengah-engah. Aku merasa ada sesuatu yang mengganjal dadaku, seperti ada truk yang menggilasku berulang kali tanpa ampun.
Aku menggigit bibir tanpa peduli kulit bibirku yang mungkin sudah terlepas.
Aku turun dari kasurku dengan susah payah seraya menggapai dinding untuk menahan tubuhku. Aku membuka pintu kamarku dan menuruni tangga.
Tak seharusnya aku membuat keriuhan pada waktu pagi seperti ini, jika kedua orangtuaku mendengarnya pasti mereka akan mengomeliku.
Tidak mau mengambil risiko, kuurungkan niat dan kembali menaiki tangga menuju kamar.
Ku hempaskan tubuhku di atas ranjang lusuh yang menyimpan banyak kenangan bagiku,menarik selimut yang sudah tidak berbentuk menutupi sekujur tubuh, memainkan ujung selimut itu dengan jemariku.
Aku menoleh dan menatap beberapa figura foto yang duduk manis dihiasi pernak-pernik ukiran kayu tepat di sampingku.
Pada foto pertama tergambar jelas dua orang anak yang satu lelaki dan yang satu perempuan sedang bermain gembira pada musim salju, ada senyum merekah yang membentuk rupa mereka, seakan-akan hidupnya ringan tanpa beban sedikitpun.
Pada foto kedua terpampang dua anak yang sama dengan kakak lelaki yang mencubit pipi adiknya saat menangis karena boneka beruang kesayangannya hilang.
Sedangkan pada foto ketiga, dua anak itu sudah tumbuh besar menjadi dua remaja yang berpendidikan dengan seragam SMP yang sepadan. Anak perempuan itu memincingkan matanya akibat sinar matahari yang terlalu menusuk pada siang hari, namun kakaknya tetap merangkul adiknya memberi perlindungan, bagaikan tabir surya.
Aku meraih ketiga figura itu dan menatapnya lekat-lekat. Air mataku kembali mengalir mengingat semua kenangan indah itu, benakku tak bisa menahan rasa yang selalu menghantuiku.
Nyatanya sudah dua tahun berlalu, namun bayang-bayang mimpi itu terus mengikutiku, terus meneror hidupku. Kenangan itu tak henti-hentinya membuatku berpikir betapa menyakitkannya hidupku selama satu tahun ini.
Aku merasakan kehilangan untuk sekian kalinya, dan untuk kesekian kalinya aku tergelincir ke dalam lubang penderitaan.
Aku menghela napas berat masih termenung pada ketiga figura itu, mengusap lembut sosoknya pada foto itu, berharap aku dapat mengurangi sesak dadaku yang semakin merajam bertubi-tubi.
Air mataku terus mengalir tanpa henti, bahkan semakin aku mencoba menghilangkannya, semakin ia menjeratku untuk melepaskannya.
Aku meringkuk kembali bagaikan janin ke atas ranjang, membenamkan diri ke dalam selimut yang sudah memudar, berlubang, tapi tetap kusimpan.
Aku tidak mau ranjang di sebelahku yang masih tersusun rapih itu dipindahkan.
Meskipun perbedaannya sangat jauh dari ranjangku yang telah terorak-arik berantakan, namun itulah barang yang tersisa darinya, peninggalan terakhirnya.
Aku memeluk erat selimut itu, seolah hidupku bergantung padanya. Ku mainkan jemariku pada ujung selimut itu, dan aku merasakan uraian benang yang telah lepas menjerat telunjuk dan ibu jariku.
Aku sungguh tidak peduli meskipun uraian benang itu akan membuat darah jemariku berhenti dan membeku, aku tetap teguh dan bersihkukuh tidak mau melepaskannya.
Dalam benakku, aku memohon:
Tuhan, bila Engkau mengujiku dengan waktu, maka jadikan kesabaranku memiliki batas yang lebih panjang dari waktu yang Kau beri...Ini semua terlalu berat bagiku, "Aku merindukanmu Kak," gumamku lirih.
KAMU SEDANG MEMBACA
Youre My Amsterdam
Romance#1 at romancefiction #2 at wattpad10 Ini kisah yang terjadi di bawah langit Amsterdam... Tentang harapan dan karunia yang muncul di tengah keputusasaan... Tentang pertemuan seketika yang menimbulkan impian... Dan tentang men...