Aku menyibakkan syal-ku sambil melihat kiri dan ke kanan sebelum berjalan cepat menyeberangi jalan ke arah salah satu bangunan bertingkat empat yang berderet di seberang jalan, di salah satu area pemukiman di Riverside Land. Langit kota New York terlihat cerah, namun sayangnya tidak secerah suasana hatiku saat ini.
Hatiku yang rapuh dan mungkin akan retak jika terkena tiupan angin sekalipun. Aku menghela napas dan segera membuka pintu di depanku, melangkahkan kakiku masuk dan meraba-raba letak tombol lampu.
Sinar redup perlahan menerangi seluruh sudut ruangan, namun semerbak wangi perasan jeruk seketika memenuhi penciumanku.
Aku menutup pintu di belakangku perlahan dan mencoba menerka-nerka asal dari penciumanku. Aku menaikkan alis melihat penglihatan di depanku.
"Apa yang kau lakukan di sini?" tanyaku, suaraku terdengar tegas dan sangat mengintimidasi dalam suasana hening ini.
"Apa aku perlu menjawab pertanyaan semacam itu? Atau aku perlu mengingatkanmu bahwa aku akan segera menjadi mempelai suamimu?" jawabnya ringan, menghentikan gerakannya yang sejak tadi memotong sebuah jeruk.
Ia menghadap dan menatapku dengan tatapan yang sama sekali tak dapat ku artikan.
Aku tidak menghiraukan tatapannya, kulepaskan sepatuku dan menggantinya dengan sandal berbulu kesayanganku.
Aku meletakkan sebongkah buku yang baru kupinjam dari pusat perpustakaan New York di atas meja kerjaku dan menyingkirkan semua kertas sketsa-ku serta mengumpulkan-nya dalam satu berkas.
Bagai hidup dalam duniaku sendiri, aku membiarkannya berkelut sendiri tanpa sedikitpun memberikan penjelasan. Aku bergerak menuju mesin kopiku dan mulai menuangkan biji-biji kopi bersama dengan sedikit krimer.
Aku menyadari dirinya sejak tadi menatap dan mengawasi gerak-gerikku. Sungguh menyadari. Semua terlihat jelas dari bayangan yang menggelantung di kaca tepat di depanku.
Menyerah, aku membalas tatapannya tajam dan berkata seraya menarik kursi, menempatkanku tepat di hadapannya, "Jadi apa tujuanmu datang ke studioku hari ini Harry Thompson?"
***
Pegangannya pada gelas mengencang saat melihat gadis di depannya tersenyum dingin. Masih, gadis itu masih berbicara. Ia tau dirinya belum bisa menyela gadis itu, tahu kalau ia terlalu terkejut untuk melakukannya.Tidak ada keriuhan dan kebisingan di sekitarnya, membuat dirinya semakin putus asa mendengar helaan napas dari gadis di hadapannya.
Sesak dalam dadanya semakin menjadi ketika gadis itu menurunkan pandangan dan menggeleng, setelah mengatakan hal yang paling ditakutkannya.
Seperti dugaannya, gadis itu mulai tahu.
Perlahan ia mengembuskan napas yang sejak tadi ditahannya, membuatnya melepaskan kupasan jeruk yang akhirnya menggelinding entah kemana serta sebilah pisau yang untungnya tidak melukai kakinya.
Ia sungguh berharap gadis itu tidak membaca kegugupan dan kengerian yang terpancar di matanya.
Namun di matanya saat ini hanya ada gelap.
Gadis itu pasti menyadarinya.
Dan ada yang berbeda dari cara gadis itu menatapnya.
Bola mata cokelat terang itu seakan menusuk sesuatu dalam dirinya membuat nyeri sekujur tubuhnya.
"Kau salah paham, Adele."
Tenggorokannya tercekat, suaranya terbata-bata saat mengucapkan kalimat itu. Ia juga berharap gadis itu percaya, meskipun mustahil gadis itu mau menelan mentah-mentah penjelasan singkat semacam itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Youre My Amsterdam
Roman d'amour#1 at romancefiction #2 at wattpad10 Ini kisah yang terjadi di bawah langit Amsterdam... Tentang harapan dan karunia yang muncul di tengah keputusasaan... Tentang pertemuan seketika yang menimbulkan impian... Dan tentang men...