HERS

156 14 39
                                    



Ketika harapan dan kenyataan bertindak seperti dua sisi rel kereta api, dia semakin kebingungan.

Ketika harapan takkan menjadi kenyataan, dia meneteskan deraian air mata.

"Ya ampun, lo salah rumus, Oneng?" Dia terkena jitakan dari temannya yang biasa memeriksa hasil pekerjaannya.

"Udah biasa keles. Semenit ... eh, kagak, tiga puluh detik aja, pasti selese," katanya sombong, namun ujung-ujungnya dia terkena jitakan lagi di kening lebar miliknya.

Temannya memperhatikan kembali apa yang menjadi tugasnya, lalu tiba-tiba kedua matanya terbelalak dan dia berdecak.

"Sejam juga kagak yakin gue bakalan selesai. Lo ngerjain rencana anggaran pengeluaran bulan depan elah, bukan bulan lalu!" Itulah kesalahannya.

Fatal.

Dia terkesiap. "Sumpeh lo?" barulah dia memeriksa work sheet program Excel secara seksama dengan mata kepalanya sendiri, "Gaswat ini! Marabahaya dunia nirwana! Keadaan dompet gue bisa bahaya! Ya Tuhan...!"

"Haleluya aja deh, akhirnya lo sadar kalo lo buat kesalahan," temannya menepuk pundak wanita berambut panjang itu dengan tepukan: 'Ya sudahlah, terima aja omelan Bos kita entar'.

"Semangat, Rachel," pesannya sebelum meninggalkan meja kawannya-wanita yang hilang fokus pada pekerjaannya.

"Kampret, lama-lama gue mandi kembang tujuh rupa di rawa-rawa juga nih." Rachel menggerutu, dan mau tidak mau, dia harus melewatkan jam makan siangnya.

Rachel mematikan keran air saat dia yakin, bahwa dirinya telah selesai meluapkan segalanya lewat tangisan. Beruntung, hari ini dia menggunakan riasan anti air, jadi dandanannya takkan begitu rusak. Dia berkaca lagi, usai mencuci mukanya. Tapi tak mungkin dia keluar dalam keadaan begini, jadi dia kembali memoles kulit wajahnya dengan bedak. Lewat kaca bundar itulah, mendadak dia menyibakkan sebuah kenangan lainnya, yang sudah tidak bisa terkunci dengan rapat lagi.

Hari ini, dia melakukannya lagi. Dia hanya mampu menuliskannya dalam diam, kekhawatiran, dan dibarengi dengan kegugupan; di atas selembar kertas yang ujung-ujungnya bakalan dia remas dan dilemparnya ke dalam tong sampah. Mudah sekali untuk menuliskannya, tapi amat sulit untuk mengutarakannya.

Apakah dia tidak pernah mengatakan yang sejujurnya?

Salah!

Dia sudah sering menyuarakan perasaannya. Tapi, hanya dalam bentuk rekaman, yang sudah menimbun di memori ponselnya, dan dia hapus saking stresnya menyimpan teriakan perasaannya. Dia hanya mau melakukannya sampai sejauh itu, karena dia terlalu takut. Dia takut, andaikan dia mengatakan yang sebenarnya, dia mungkin akan ditertawakan dan ditinggalkan.

Dia ngapain lagi? Batinnya penasaran.

Rachel berhenti bertengkar dengan suara hatinya, saat dia melihat pemuda di sebelahnya tiba-tiba menutup mata, dan bibirnya mulai bergerak-gerak seperti sedang berdoa.

"Ah, udah," kata cowok keriwil itu; dia menyengir aneh, sebelum kembali menyalin materi yang ada di papan tulis.

"Lo ngapain sih, Ndre?" Rachel bertanya lagi, padahal dia sudah tahu, kalau palingan Andre akan menjawab dengan cengiran tak bergunanya.

"Berisik lo," balas Andre sambil mendorong kening Rachel ke belakang.

Cewek itu jadi mendengus kesal, kesal kepada dirinya sendiri. Kenapa dari sekian cowok di sekolah, dia malahan jatuh cinta dengan orang yang memang terkenal suka berkelakuan aneh? Sahabatnya pula!

LOVE July's EventTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang