Chapter 3 - New Student

319 23 7
                                    

Sinar matahari menembus kaca jendela kamarku. Sinarnya sungguh menyilaukan mata. Aku melihat ke arah jam dinding. Pukul 07.01. Aku pun bangkit dari tempat tidurku lalu melakukan rutinitas pagiku.

Setelah siap semua, aku pun pergi keluar untuk sekolah. Hahh, rasanya malas sekali.

Di perjalanan, mataku menangkap sosok anak laki-laki yang err ... Agak aneh. Masalahnya adalah dia terus menerus menatapku sambil tersenyum manis. Dan tatapannya itu agak ...  Uhh, aku tidak bisa menjelaskan. Mata biru itu seperti bukan milik orang Jepang biasanya. Mungkin dia orang asing. Aku hanya mengabaikannya lalu berjalan kembali menuju sekolah.

Sama seperti kemarin, sampai dikelas aku hanya memalingkan wajah keluar jendela. Aku sendiri tidak mengerti kenapa aku suka melakukannya. Yang jelas, itu dapat membuatku lepas dari bully-an anak sekelasku.

Yukimura-sensei pun masuk kelas. Aku bingung kenapa sensei tersenyum penuh arti seperti itu. "Anak-anak, kalian kedatangan murid baru. Silahkan masuk." oh, ternyata ini.

Seorang anak laki-laki berambut model undercut dan bermata biru laut. Tunggu! Warna biru?! Mataku membulat kaget. Dia ... Anak yang tadi!

"Perkenalkan namaku Aohara Ryuu. Mohon bantuannya!" katanya sambil tersenyum lebar.

"Nah, Aohara-kun, kamu bisa duduk di ... Ah! Di samping Shirakame-san."

"Baik. Terima kasih, sensei." anak itu pun berjalan ke bangkunya. Ia sempat menyapaku. "Hai, salam kenal. Mohon bantuannya ya, Shirakame-san."

"Iya." jawabku datar sambil mataku fokus pada buku pelajaran.

Selama pelajaran berlangsung, anak bermata biru itu terus menatapku. Oh, itu membuatku risih sekali. Aku memalingkan wajah keluar jendela. Tak mempedulikan si manik biru yang masih saja menatapku dengan pandangan aneh dan senyum anehnya itu.

Bel istirahat berbunyi. Anak baru itu langsung banyak yang mendekati. Sekedar ingin berkenalan atau mengajak jalan-jalan keliling sekolah mungkin. Seperti biasa, aku tak begitu peduli. Aku mengeluarkan bento-ku lalu memakannya.

"Ne, Haru-chan, kau tidak ke kantin?" tanya si manik biru. Aku mengabaikannya. Masih asyik dengan bento milikku. "Mou~ kau mengabaikanku?"

"Jangan ganggu aku. Nanti kau juga dibully. Pergi sana!" kataku dengan nada datar. " Dan darimana kau tau nama depanku?"

"Hmm, mungkin karena aku sudah lama memperhatikanmu?" anak itu tersenyum miring. Aku tidak begitu mengerti maksudnya.

"Tch, omong kosong." karena kesal, aku berjalan keluar kelas meninggalkan Aohara sendirian mematung disana.

Teman? Aku tidak pernah memikirkannya. Aku tidak mau merasakan 'sakit'. Jadi aku hanya akan menjauh darinya.

Ya, teruslah seperti itu, Master.

Aku tergelak. Suara ini ... Sama seperti saat itu. Saat aku membunuh kedua orang tuaku dengan tanganku sendiri. Suara kegelapan Inugami. Otakku memaksa kembali memutar memori kelam itu lagi. Kepalaku terasa berdenyut. Sakit sekali.

Teruslah hidup dalam gelapnya kesepian. Master hanya membutuhkanku. Kau tidak pantas memiliki seorang teman. Master hanya milikku seorang.

Suara itu seolah memenuhi otakku. Sakit sekali. Tanpa sadar aku berteriak. "Tidak! Pergi! Menjauh dariku!"

Semua orang menatapku aneh. Aku sadar kalau aku masih ada di koridor dan agak ramai disini. Buru-buru aku meninggalkan koridor, lalu menuju halaman belakang sekolah.

Tanpa sadar sepasang mata biru laut, sedang menatapku prihatin.

***

Aku berjalan menuju satu-satunya pohon sakura besar yang berada dibelakang sekolah. Aku menatap pohon sakura yang hanya ada ranting dan dahannya itu. Mataku terasa panas. Bulir-bulir air mata mulai turun melewati kedua pipiku.

Kenapa harus aku? Pikirku dalam hati. Ya, kenapa harus aku yang menderita? Kenapa bukan orang lain saja? Aku ... Lelah.

Master sudah lelah? Hm, kenapa tidak berikan saja tubuh Master ini untukku?

Suara sialan itu lagi. "Berhenti! Jangan ganggu aku! Pergi dari tubuhku!"

Tidak bisa begitu dong, Master. Aku tidak akan pergi sebelum dapat mengambil alih tubuhmu dan membunuh semua pengganggumu, Master. Bukankah Master yang menginginkan itu?

"Tidak, bukan itu. Aku tidak pernah berpikir seperti itu. Omong kosong!" aku tidak tahan. Aku meringkuk kesakitan dibawah sakura yang tengah gugur. Kepalaku terasa sakit sekali.

Master berbohong ya. Jangan seperti itu, Master. Aku tau semua apa yang Master inginkan. Dan aku bisa mewujudkan keinginan gelap milik Master. Bagaimana, hm?

"Diam kau! Sudah cukup, pergi!"

Master tidak asik. Cih.

Suara itu pun menghilang. Air mata kembali jatuh dari pelupuk mataku. Angin musim dingin berhembus pelan. Aku tidak memakai syal. Oh, shit. Dingin sekali.

Seraya mengumpat tak jelas, tiba-tiba seeorang mengalungkan sebuah syal biru muda di leherku. Aku menoleh kebelakang. "Aohara ... -kun?" air mataku berhenti mengalir.

"Ceroboh sekali main keluar di musim dingin tanpa memakai jaket atau syal. Kau tidak kedinginan, eh?" anak baru itu tersenyum. Sorot matanya terlihat tulus. "Oh, kau baru saja menangis ya? Ternyata cengeng juga." sekarang anak bermata biru ini tersenyum mengejek. Dia menyebalkan juga ternyata.

"Ce-cerewet! Jangan ganggu!" kataku sambil membuang muka. Aohara tertawa. Aku semakin sebal saja dengannya.

"Ya sudah. Balikin sini syal-nya. Aku kan hanya mengganggu."

"E-eh? Ja-jangan ...," aku mempoutkan bibirku sambil mengelus-elus syal biru yang sedang kukenakan ini.

Aohara menyeringai lalu tertawa untuk yang kedua kalinya tanda sedang mengejekku. Ini membuatku kesal asal tau saja. "Ternyata tsundere juga. Dasar." katanya dengan nada yang sangat membuatku kesal.

"Ck, dasar cerewet." bola mataku memutar malas.

"Dasar Tsundere."

"Cerewet."

Aku masih membuang muka darinya. Masih kesal.

"Aku Aohara Ryuu. Kau boleh memanggilku Ryuu. Yah, kalau mau sih."

"Udah tau, cerewet."

Ryuu tampak tak terima. Ia mengerucutkan bibirnya kesal. "Siapa yang kau panggil cerewet, gadis Tsundere?!"

"Ya kau. Siapa lagi memangnya?"

Tak kusangka anak ini menyebalkan sekali. Kupikir anaknya baik-baik.Ternyata cerewet sekali seperti ibu-ibu pembeli sayur. Ryuu menggeram kesal. Lalu menghela nafas pasrah. Sepertinya aku menang dalam perdebatan ini. Mungkin aku memang ditakdirkan menang dalam setiap perdebatan. Wow, itu menyenangkan.

"Sudahlah. Ayo ke kelas. Pelajaran sudah dimulai. Ah, ya, boleh aku memanggilmu Haru?"

"E-eh?" ini terlalu mendadak. "Bo-boleh saja."

"Arigato, Haru. Mulai sekarang, mohon kerja samanya ya."

Tanpa sadar aku tersenyum. Tuhan mengirimkan seorang penyelamat hidupku. Tapi, apa aku bisa percaya padanya ya?

***
Makasih yak yang udah mao baca!! 😁😆

ryuu9_

The Lonely Inugami's Girl [HIATUS]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang