Jilid 9

6.6K 78 4
                                    

"Cui Im, engkau.... engkau.... manusia berhati iblis...."

"Hi-hi-hik, lupakah engkau golongan apa kita ini, Biauw Eng? Ibumu adalah orang pertama dari Bu-tek Su-kwi, golongan datuk-datuk hitam, manusia-manusia sesat dari dunia hitam! Aku kini menjadi ratu golongan hitam, habis kalau tidak kejam, bukankah akan ditertawai oleh tokoh-tokoh lain? Sekarang engkau rasakanlah penderitaanmu. Engkau akan tersiksa oleh rasa nyeri yang hebat, nyawamu takkan tertolong lagi, dan engkau akan mati membawa kebencian Keng Hong yang menganggap engkau wanita kejam. Yang menganggap engaku sama saja dengan aku yang malam-malam datang merayu dan mengemis cintanya! Engkau akan mati dan menjadi setan penasaran!"

"Biarpun sampai mati, aku akan tetap mengejarmu untuk membalas dendam!"

Tiba-tiba Biauw Eng berteriak dan wajah Cui Im menjadi berubah agak pucat dan kakinya melangkah mundur. Ada sesuatu dalam suara bekas sumoinya ini yang membuat ia merasa ngeri sekali. Akan tetapi ia menutupi rasa ngerinya itu dengan suara ketawa terkekeh, kemudian menggandeng tangan Siauw Lek dan di ajaknya laki-laki itu pergi dari pantai selatan, meninggalkan Lam-hai Sin-ni yang mulai kehabisan darah dan Biauw Eng yang mulai tersiksa rasa nyeri yang tak terbayangkan hebatnya.

Biarpun sudah jauh meninggalkan bekas guru dan sumoinya, dan sudah berada di sebuah kamar besar bersama Siauw Lek dan enam orang culikan mereka, namun Cui Im masih saja gelisah dan telinganya masih mendengar ancaman bekas sumoinya. Ia membayangkan betapa sumoinya itu telah tewas, menjadi setan penasaran dan selalu mengejar hendak mencekiknya!

Dia tidak gentar menghadapi lawan manusia yang bagaimana sakti pun juga, akan tetapi melawan setan penasaran? Cui Im menggigil lalu memeluk seorang di antara tiga orang muda yang diculiknya dan dibawanya ke dalam kamar di sebuah gedung ini. Dengan kekejaman luar biasa Cui Im yang hendak memenuhi janjinya kepada Siauw Lek, malam ini mengadakan "pesta".

Pesta antara mereka berdua yang gila, yang tak mungkin terpikirkan manusia lain. Mereka berdua menculik tiga orang pemuda remaja yang tampan-tampan dan tiga ornag perawan remaja yang cantik-cantik, kemudian membawa mereka berenam ke dalam sebuah kamar dari gedung yang kini kosong karena semua penghuni gedung telah mereka bunuh! Di dalam kamar yang besar ini, Cui Im dan Siauw Lek melakukan praktek-praktek kecabulan yang tiada taranya.

Mereka memaksa dengan ancaman tiga orang pemuda dan tiga orang gadis itu untuk melayani nafsu-nafsu mereka, yang mereka jadikan semacam pembangkit gairah berahi dan pada akhir pesta mereka berdua sendiri bermain cinta di depan tiga orang muda yang memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat, seperti enam ekor kelinci yang hampir mati ketakutan.

Dan pada keesokkan harinya, dengan tubuh lemas dan semangat segar penuh kepuasan dan kegembiraan, Cui Im dan Siauw Lek meninggalkan kamar itu yang kini dihias enam sosok mayat tiga pasang orang muda yang telanjang bulat dan mandi darah!

Biauw Eng masih rebah miring, tak mampu bergerak. Dia tadi hanya memandang saja penuh kebencian betapa sebelum pergi Cui Im telah mengangkat sebuah batu besar dan dengan pedang merahnya wanita itu membuat huruf-huruf di atas batu yang berbunyi: DI TEMPAT INI LAM-HAI SIN-NI DAN SONG-BUN SIU-LI DIBUNUH OLEH ANG-KIAM BU-TEK.

Kemudian Biauw Eng melirik ke arah ibunya dan air matanya mengalir turun ketika ia melihat ibunya yang sudah buntung kedua kaki tangannya itu duduk tegak dan kaku. Ia dapat menduga bahwa ibunya tentu telah tewas dan hanya kekerasan hati ibunya mati dalam keadaan duduk tegak seperti itu. Dan dia sama sekali tidak berdaya dan akan mati pula! Dan Keng Hong masih hidup, akan tetapi juga menanti kematian yang diawali siksaan dan derita lebih panjang lagi. Dan dia mati sebagai seorang yang jahat dan dibenci oleh Keng Hong.

Biauw Eng mengeluh, terisak-isak. Tubuhnya mulai terasa amat sakit-sakit terutama sekali di bagian belakang kepalanya yang seperti digerogoti semut-semut api. Rasa nyeri yang hebat sekali, akan tetapi tidak terlalu hebat sehingga tidak sampai membuatnya pingsan. Ia maklum akan kehebatan racun jarum merah bekas sucinya itu. Memang ini yang dikehendaki oleh Cui Im. Agar dia tidak pingsan dan terus sadar, terus merasai siksaan sedikit demi sedikit sampai racun merusak jantungnya dan dia mati dalam keadaan yang amat menderita.

Akan tetapi bukan rasa nyeri yang membuatnya mengeluh. Rasa nyeri di tubuhnya bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan rasa nyeri dihatinya. Melihat ibunya mati demikian mengenaskan, menghadapi kematiaannya sendiri yang amat terhina, dan memikirkan Keng Hong, benar-benar merupakan siksaan batin yang membuat dia hampir menjerit-jerit, tepat seperti yang dikehendaki Cui Im!

Dia belum mati. Baru tiga empat jam berlalu, masih ada delapan jam lagi. Sebelum mati, mengapa putus asa? Kalau dia dapat hidup, dia dapat mencari Keng Hong, menolongnya dari bahaya maut, kemudian mencari Cui Im dan Siauw Lek untuk membalas dendam berikut bunga-bunganya! Akan tetapi, betapa mungkin ia dapat tertolong? Andaikata ia dapat membebaskan totokan dan mampu bergerakpun ia tidak akan dapat menolong nyawanya.

Untuk mengobati racun jarum merah, dia tidak mempunyai obat penawarnya, juga ibunya tidak menyimpan obat ini. Obat ini tentu saja hanya dibawa oleh Cui Im yang mempergunakan racun itu pada senjata rahasianya. Untuk menyedot dan mengeluarkan racun tak mungkin. Mana bisa ia menyedot luka di tengkuknya? Pula, ia mengerti sifat racun merah itu. Tidak berbahaya bagi mulut yang menyedotnya, akan tetapi berbahaya bagi mata! Orang yang menyedot racun itu, tidak akan mati, akan tetapi akan rusak matanya, akan menjadi buta!

Biauw Eng memejamkan mata memutar otak mencari akal yang agaknya sudah buntu. Tiba-tiba telinganya mendengar suara langkah kaki menghampiri. Cepat ia membuka mata dan melihat bagian tubuh seorang laki-laki melangkah maju. Ah, masih ditambah ini lagi penderitaannya? Apakah dalam saat terakhirnya ini ia masih akan mengalami penghinaan, perkosaan dari seorang pria?

Tentu Siauw Lek yang datang kembali ini, pikirnya dan ia memejamkan matanya kembali, terlalu ngeri untuk mengalami penderitaan hebat yang akan menimpanya dengan mata terbuka.

"Aiiiihhh, terlalu keji iblis betina itu..."

Terdengar suara seorang laki-laki yang berlutut di dekat tubuh Biauw Eng. Agaknya dia memeriksa keadaan Biauw Eng yang disangkanya pingsan. Mendengar bahwa suara ini bukan suara Siauw Lek, Biauw Eng membuka matanya dan melirik keatas. Wajah yang tampan seorang pemuda yang usianya amat muda, paling banyak dua puluh dua tahun atau sebaya dengan dia. Wajah tampan dan sikap yang gagah dan sopan.

"Ah, syukurlah engkau tidak pingsan, Nona. Biar aku menolongmu, Nona."

"Dapatkah engkau membebaskan totokan pada punggung dan pundakku?" Biauw Eng bertanya, sikapnya tenang.

"Aku mengerti sedikit ilmu silat, akan tetapi bukan ahli tiam-hiat-hoat, Nona. Jalan darah mana yang harus ditotok?"

"Jalan darah kian-keng-hiat di pundak dan hong-hu-hiat di punggung belakang pundak. Bukan ditotok, melainkan dibebaskan.."

"Wah, sayang, aku tidak bisa, Nona. Katakanlah di mana adanya obat penawar racun jarum ini, dan aku akan..."

"Hemmm, tidak ada obat penawarnya!"

Biauw Eng putus asa. Dia tadi minta dibebaskan hanya agar dia dapat memeriksa ibunya, bukan untuk dapat menolong diri sendiri. Kini pemuda ini terlalu rendah ilmu silatnya sehingga membebaskannya pun tidak mampu! Ia menghela napas dan berkata lagi,

"Engkau siapakah? Mengapa kesini?"

"Aku she Sim, bernama Lai Sek. Aku sengaja datang mencari Lam-hai Sin-ni dan engkau puterinya, untuk membalas dendam atas kematian ciciku!"

"Uhhhh, dengan kepandaianmu seperti itu, engkau hendak melawan aku dan ibuku?" Biauw Eng bertanya penuh keheranan.

"Membalas dendam adalah satu hal, menang atau kalah adalah hal lain lagi. Akan tetapi, ketika aku datang tadi... aku melihat iblis-iblis itu, aku bersembunyi, merangkak-rangkak dekat dan mendengar semua.

Kemudian aku mengerti engkau telah terkena fitnah iblis betina itu, selama ini aku mengutuk namamu, menganggap engkau pembunuh ciciku, dan aku melihat betapa ibumu disiksa, dibunuh, kemudian betapa ibumu dihina dan dilukai. Aku harus menolongmu, harus! Benar-benarkah tidak ada obat penawarnya, Nona?"

"Sudah kukatakan tidak ada, engkau tidak dapat menolongku, sedangkan akupun sendiri tidak bisa menolong diriku sendiri. Aku amat berterima kasih kepadamu, Sim-enghiong. Engkau seorang pemuda yang baik budi. Kalau engkau sudi untuk merawat ibuku... Mengubur jenazahnya.... biar sampai mati pun aku akan amat berterima kasih kepadamu...."

Suara Biauw Eng mengandung isak karena teringat akan ibunya. Betapa sedih hatinya melihat ibunya disiksa dan dibunuh orang tanpa ia dapat menolongnya, bahkan jenazahnya pun tak mampu ia merawat dan menguburnya!

"Ah, tentu... Tentu ah, kasihan sekali engkau dan ibumu... hemmm, sungguh iblis betina itu kejam sekali...!"

Sim Lai Sek menjadi bingung karena dia tidak tega melihat nona itu menderita tanpa dapat menolongnya. Melihat betapa wajah yang amat cantik jelita itu pucat dan bibir itu menyeringai sakit, dahi yang halus itu penuh peluh, ia merasa hatinya tersiksa sekali. Cepat dia bangkit dan menghampiri tubuh Lam-hai Sin-ni dengan hati ngeri, juga dengan penuh iba. Kaki tangannya buntung dan potongan kedua kaki dan lengan itu masih berserakan disitu. Mengerikan! Ternyata bahwa tubuh nenek itu sudah kaku, tak bernyawa lagi seperti yang diduga Biauw Eng.

Ketika tidak mendengar gerakan pemuda itu, Biauw Eng bertanya,
"Sim- enghiong, apakah ibuku.. sudah meninggal ?"

"Be.... benar, Nona.."

Biauw Eng menarik napas panjang dan tiba-tiba ia merintih karena rasa nyeri yang luar biasa menusuk tengkuknya.

"Harap.... harap kau begitu baik hati... Menolongku, menguburkan jenazahnya..."

"Baiklah, Nona. Tenangkan hatimu, aku akan mengubur jenazah locianpwe."

Seperti pernah diceritakan di bagian depan cerita ini, Sim Lai Sek adalah adik Sim Ciang Bi, murid Hoa-san-pai yang terbunuh oleh senjata rahasia yang dilepas oleh Cui Im, yang tewas dalam pelukan Keng Hong setelah gadis itu bersama Keng Hong melampiaskan perasaan mereka saling mencinta.

Sim Lai Sek merasa sakit hati sekali dan pemuda ini mengikuti semua persoalan mengenai Keng Hong, menyaksikan pula Keng Hong diadili dan meyaksikan betapa Biauw Eng yang kemudian dilarikan ibunya, Lam-hai Sin-ni. Karena merasa sakit hati kehilangan cicinya, satu-satunya saudaranya dan yang amat dicintainya, Sim Lai Sek melatih diri dengan ilmu silat, kemudian mencari Lam-hai Sin-ni untuk membalas dendam kematian cicinya yang menurut pengakuan Biauw Eng sendiri dibunuh oleh gadis puteri Lam-hai Sin-ni itu.

Ketika tadi ia tiba di situ, ia menyaksikan sepak terjang Cui Im dan Siauw Lek. Ia bersembunyi dan mengintai. Karena dua orang manusia iblis itu sibuk dengan kekejaman mereka, mereka tidak melihat atau mendengar kedatangan pemuda ini yang dapat mendengar dan menyaksikan semua.

Terbukalah matanya bahwa Biauw Eng terkena fitnah, bahwa yang membunuh cicinya adalah wanita iblis itu! Akan tetapi menyaksikan kehebatan ilmu kepandaian kedua orang manusia iblis itu, Lai Sek maklum bahwa kalau dia menyerang takkan ada gunanya. Ia menanti sampai berjam-jam barulah dia merasa yakin bahwa mereka tidak akan datang kembali maka dia lalu muncul menolong ibu dan anak itu

Dengan penuh semangat Lai Sek menggali lubang kuburan. Ia bertenaga besar dan tak lama kemudian dia sudah menggali sebuah lubang, kemudian dia mengeraskan hatinya mengangkat tubuh Lam-hai Sin-ni yang kaku, menaruhnya hati-hati ke dalam lubang berikut potongan-potongan kedua kaki tangannya, kemudian dia menguruk lubang itu dengan tanah galian.

Biauw Eng memandang semua pekerjaan pemuda itu dan ketika Lai Sek menguruk tanah kuburan ia tak dapat melihat lagi karena kedua matanya penuh air mata yang tak dapat ia hapus karena kedua tangannya tak dapat ia gerakkan.

"Sudah selesai, Nona."

Lai Sek berlutut di dekat Biauw Eng setelah dia membersihkan kedua tangannya. Melihat betapa gadis itu menggigit bibir menahan nyeri dan melihat air mata memenuhi bulu mata karena tak dapat dihapus, pemuda itu menjadi iba sekali hatinya dan seperti tak disadarinya dia menggerakkan tangan dan mengusap air mata dari kedua mata nona itu dengan ujung bajunya.

Sepasang mata yang merah itu memandang penuh keharuan dan rasa terima kasih menusuk perasaan Lai Sek.  

Pedang Kayu Harum (Siang Bhok Kiam)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang