Cong San sama sekali tidak tahu betapa laki-laki muda yang mengaku bernama A-liok tadi yang mengaku sebagai utusan Cia Keng Hong mengantar surat rahasia telah menghadap Cui Im bersama Mo-kiam Siauw-ong menyampaikan laporannya.
Cui Im dengan hati-hati membuka sampul surat balasan Cong San kepada Keng Hong dan dia tertawa terpingkal-pingkal, wajahnya berseri-seri dan pandang matanya membayangkan kepuasan.
"Bagus sekali! Siasat pertama berhasil baik! Kalau Cong San masih belum terbakar, benar-benar dia seorang yang tolol! Engkau telah melakukan pekerjaan baik sekali, sekarang engkau harus terus pergi ke Cin-ling-san menyampaikan surat ini kepada Cia Keng Hong."
A-liok palsu itu menjadi pucat mukannya.
"Akan tetapi.... tentu dia akan mengenal bahwa saya bukan A-liok dan celakalah saya....."
"Bodoh!" Cui Im membentak. "Kau tidak perlu ke tempat tinggalnya, cukup kau berhenti malam-malam di depan rumah seorang petani di kaki Gunung Cin-ling-san, teriaki supaya dia keluar, berikan surat dengan pesan agar disampaikan kepada Cia-taihiap dan kau tambahkan bahwa engkau yang mengaku A-liok tidak akan kembali ke lereng Cin-ling-san. Dalam gelap takkan ada orang mengenalmu, dan petani bodoh itu tentu hanya akan mengenal pakaian dan kudamu, terutama nama palsumu."
Cui Im memberi hadiah beberapa potong uang perak kepada orang itu yang dengan girang sekali dan segera berangkat ke Cin-ling-san. Mo-kiam Siauw-ong lalu memerintahkan pelayannya menyediakan hidangan dan arak untuk merayakan hasil baik siasat mengacau kehidupan musuh-musuhnya itu.
"Siasat Sianli benar-benar hebat dan kepandaian menulis adik iparku benar-benar mengagumkan. Aku harus memberi selamat kepada kalian dengan secawan arak!" kata Mo-kiam Siauw-ong. Mereka minum sambil tersenyum-senyum gembira.
Go-bi Thai-houw yang dipersilahkan makan minum pula, mendengarkan dengan sikap malas-malasan. Kemudian terdengar ia berkata,
"Tanpa akal bulus surat itu pun mereka takkan dapat hidup rukun dengan suaminya. Tendanganku tentu telah berhasil baik, menghilangkan tanda keperawanan dan dengan itu saja sudah cukup untuk merusak kebahagiaan mereka."
Cui Im yang pandai menjilat itu segera mengangkat cawan araknya dan berkata,
"Semua siasat teecu mengandalkan kelihaian Subo seorang. harap Subo suka selalu membantu teecu menghancurkan mereka yang telah menggagalkan semua usaha kita, terutama Cia Keng Hong. Sebelum dia mampus, bagaimana Subo dapat mengangkat diri menjadi yang terlihai di seluruh dunia kang-ouw?"
"Hemmm, bocah itu mudah saja kukalahkan. Akan tetapi aku sekarang sudah merasa malas untuk bertempur, sudah enak sekali hidup di sini. Orang setua aku ini tinggal menanti mati, harus menghabiskan sisa hidup yang tak lama lagi dengan bersenang-senang."
Cui Im tidak berani mendesak, dan biarpun subonya berkata demikian, di dalam hatinya dia masih sangsi apakah benar subonya akan dapat mengalahkan Keng Hong dengan mudah. Apalagi kalau di samping musuh besarnya itu terdapat Biauw Eng yang tidak boleh dipandang ringan pula, karena selain Biauw Eng memang telah memiliki kepandaian tinggi, bekas sumoinya itu pernah menerima ilmu-ilmu aneh dari go-bi Thai-houw sendiri dan kini tentu saja menerima bimbingan Keng Hong yang menjadi suaminya.
"Sianli, setelah siasat pertama berhasil baik, kapan akan dilakukan siaat ke dua dan bagaimanakan siasat itu?"
Mendengar pertanyaan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im tersenyum.
"masih belum tiba waktunya untuk melakukan siasat ke dua itu. Aku harus menunggu sampai Yan Cu melahirkan bayinya. Dalam keadaan mengandung seperti sekarang ini, siasat itu tidak akan dapat dijalankan."
"Wah, tentu masih lama sekali!" Coa Kun mencela.
"Apa artinya beberapa bulan lagi? Aku telah menanti setengah tahun untuk siasat pertama. Untuk dapat membalas dendam dengan berhasil baik, orang harus memiliki kesabaran dan menggunakan prhitungan yang seksama dan tepat agar tidak sampai gagal sehingga tidak sia-sialah kesabaran yang berbulan-bulan menindih hati."
"Sianli memang luar biasa sekali, sabar dan cerdik. Memang, orang perlu sekali memiliki kesabaran, karena kesabaran akan mendatangkan hadiah, biarpun lambat."
Mendengar ucapan Mo-kiam Siauw-ong ini, Cui Im melirik ke arah laki-laki tinggi besar itu dan ia tersenyum lebar.
"Siasat pertama ini hanya berhasil baik karena jasa Siauw-ong. Jasa besar harus diberi imbalan pahala, dan selanjutnya aku pun mengharapkan bantuan Siauw-ong dengan anak buahnya. harap malam nanti kau suka mengadakan waktu karena aku akan datang dan merundingkan siasat-siasat selanjutnya denganmu."
Mo-kiam Siauw-ong dapat menangkap maksud yang tersembunyi di balik kata-kata itu, apalagi ketika mereka bertemu pandang. jantungnya berdebar saking girangnya dan dia mengangkat cawan, menenggak habis araknya sambil berkata,
"Aku selalu siap sedia membantu Sianli, dan aku menanti kedatangan Sianli setiap saat."
Malam itu Coa Kun terbebas dari gangguan Cui Im dan tidur dengan nyenyaknya di bawah pengaruh hawa arak yang terlalu banyak diminumnya. Di dalam kamar lain, di sebelah belakang bangunan besar itu, Cui Im memenuhi janjinya kepada Mo-kiam Siauw-ong, menyelinap ke kamar laki-laki setengah tua yang bertubuh tinggi besar ini yang menyambut kedatangannya dengan pelukan dan ciuman penuh nafsu berahi yang bernyala-nyala. Mo-kiam Siauw-ong menikmati pahalanya sampai malam suntuk dan Cui Im pun menanggapi ini sebagai sebuah selingan yang bukan tidak menyenangkan.
Sementara itu, beberapa hari kemudian, pagi-pagi sekali Keng Hong dan Biauw Eng menerima kedatangan seorang petani yang tinggal di kaki bukit, yang datang menghadap membawa sampul surat sambil berkata,
"Malam tadi saya menerima surat ini untuk disampaikan kepada Cia-taihiap. Karena malam gelap, saya tidak berani mengganggu Taihiap dan baru pagi ini saya sampaikan."
Keng Hong cepat menerima surat itu dan ketika membaca sampulnya, dia saling pandang dengan isterinya.
"Dari mereka?" tanya Biauw Eng.
Keng Hong mengangguk, lalu bertanya kepada petani ini,
"Siapakah yang memberikan surat ini kepadamu, Lopek?"
"Seorang penunggang kuda, katanya bernama A-liok. Selain minta agar supaya surat itu disampaikan kepada Taihiap, juga dia berpesan bahwa dia tidak akan kembali ke sini, Taihiap. Lalu dia pergi membalapkan kudanya."
"Aneh sekali, mengapa A-liok tidak pulang?" Biauw Eng berkata, alisnya berkerut karena ia merasa curiga.
"Bagaimana rupanya orang itu, Lopek? Apakah Lopek sudah mengenal A-liok?"
Petani tua itu menggeleng kepala.
"Saya tidak dapat melihat wajahnya Taihiap. Malam gelap dan dia duduk di atas kuda. Hanya kudanya berbulu hitam dihias putih di dada dan keempat kakinya, dan pakaian orang itu berwarna biru, dengan topi bunder warna kuning. Dia masih muda, melihat bentuk badan dan suaranya."
"A-liok, tak salah lagi," kata Keng Hong, "Terima kasih, Lopek." Dia memberi hadiah uang kepada kakek itu yang ditolaknya.
"Melakukan sesuatu untuk taihiap merupakan kesenangan, mengapa harus memberi hadiah? Sudah cukup, Taihiap, saya mau turun." Kakek itu lalu berjalan terbongkok-bongkok menuruni lereng.
Keng Hong mengajak isterinya masuk ke dalam kamar dan di situlah di luar tahunya orang lain, mereka bicara serius.
"Heran sekali, mengapa A-liok tidak langsung saja pulang dan menyerahkan surat balasan itu kepada kita?" Biauw Eng berkata. "Benar-benar mencurigakan urusan ini."
"Hemmm, agaknya aku salah mempercaya orang. A-liok pernah tinggal bertahun-tahun di kota. Begitu mendapatkan kuda baik dan sedikit uang, agaknya dia tidak mau kembali ke gunung dan akan merantau ke kota lagi. Sudahlah, yang penting surat kita sudah diberikan dan malah dia sudah membawa balasannya, ini sudah cukup baik."
Keng Hong merobek pinggir sampul dan menarik keluar suratnya. Dibukanya lipatan surat dan begitu matanya melihat beberapa buah huruf yang ditulis dengan goresan penuh amarah itu, wajahnya berubah marah, matanya terbelalak dan dia terjatuh duduk di atas kursi, kedua tangan masih tetap memegangi surat seolah-olah kedua lengannya kaku dan dia tidak percaya akan apa yang dibacanya.
"Apa isinya?"
Biauw Eng terkejut melihat suaminya dan ketika suaminya tidak menjawab, ia cepat merampas surat itu dan dibacanya.
"Manusia jahanam Yap Cong San.....!!" Biauw Eng memaki dan merobek kertas itu.
"Eiiiihhh, sabar, jangan robek-robek surat itu, untuk bukti!"
Biauw Eng melemparkan surat yang sudah dia robek menjadi dua itu kepada suaminya sambil berkata marah,
"Sabar, katamu? Si keparat itu berani menghinamu seperti itu dan kau bilang supaya aku sabar? Hemmm, kalau saat ini dia berada di depanku, tentu dia akan merasai hajaran kedua tanganku!!"
"Nanti dulu, isteriku. Kita tidak boleh menurutkan perasaan dan menggunakan akal sehat. Aku tidak percaya kalau Cong San dapat menulis surat seperti ini kepadaku. Tentu ada sebab lain, dan melihat sikap A-liok yang melarikan diri, aku curiga sekali."
"Curiga apa lagi? Sebab apa lagi? Dia telah gila, gila oleh cemburu! Masa engkau tidak tahu? Dia telah menjadi gila karena mencemburukan isterinya denganmu! Manusia tolol macam itu apa gunanya diajak berunding? Cis, aku tidak sudi mempunyai sahabat, apalagi saudara macam itu! Pendeknya, mulai saat ini, kita tidak akan berhubungan dengan manusia itu lagi, dan kalau tanpa disengaja aku bertemu dengannya, aku tidak akan puas sebelum menghajarnya sampai dia minta ampun kepadamu."
"Ssttt, Biauw Eng isteriku, tenang dan sabarlah. Ingat, engkau sudah menjadi calon ibu anak kita, masa masih begitu pemarah dan ganas? Aku yakin bahwa Cong San tentu tidak sengaja menghinaku, dan di balik semua ini tentu ada rahasia lain. Dia telah menjadi korban racun fitnah yang dihamburkan oleh Go-bi Thai-houw dan Cui Im, tentu dia telah menderita batin hebat sekali kalau dia terkena racun itu, jangan kau tambah dengan sikap bermusuh dan membenci dirinya. Sebaiknya kita harus menolongnya........"
"Cukup! Memang aku isteri yang galak, wanita yang ganas! Engkau terang-terangan dihina orang, aku membelamu dan kau malah membela orang itu! Sekarang aku bingung sekali, apakah si keparat Cong San yang gila, ataukah engkau yang miring otak, ataukah aku yang edan!"
"Aihhh, isteriku yang baik, kau maafkanlah aku!" Keng Hong merangkul. "Kita hentikan saja pembicaraan mengenai Cong San sampai lain kali. Betapapun juga, yang penting adalah kita berdua dan aku tidak ingin kita bertengkar karena dia atau siapapun juga. Kau maafkan aku, kalau perlu, biarlah aku berlutut padamu!" Keng Hong bebar-benar menjatuhkan diri berlutut di depan Biauw Eng!
Biauw Eng terkejut sekali dan cepat ia pun berlutut, merangkul suaminya dan menangis sesenggukan dalam rangkulan Keng Hong. Keng Hong mengelus rambut isterinya, mengangkatnya bangkit dan menuntunnya duduk di kursi.
"Aih, aku telah gila, Eng-moi. Masa aku harus membuat engkau marah hanya karena seorang yang gila oleh cemburu. Engkau benar, memang kita tidak perlu lagi memikirkan mereka. Kelak, kalau anak kita sudah besar, kita berdua.......eh, bertiga maksudku, akan menengok Leng-kok dan hendak kulihat apa sebetulnya yang terjadi atas diri Cong San sehingga membuat dia gila dan menulis surat macam ini kepadaku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Pedang Kayu Harum (Siang Bhok Kiam)
General FictionSie Cun Hong (Sin-jiu Kiam-ong atau Raja Pedang Tangan Sakti) adalah pemilik pertama Siang-bhok-kiam (Pedang Kayu Harum) sekaligus guru tunggal Cia Keng Hong (tokoh sentral cerita ini). Meskipun berwatak aneh dan dan tidak tabu melakukan hal - hal d...